Pertengkaran Hebat 1 (Pov Oca)

264 64 246
                                    

Pokoknya, Abang nggak usah kerja di sana lagi!!" teriak Oca.

"Tapi kenapa? Sejak kaupulang tadi marah-marah terus begini. Apa salah Abang?"

"Aku nggak suka kalau Abang masih datang ke swalayan itu, ya, Bang."

Aku tak bisa bicara, mungkin dia sudah tak mau melihatku dengan penghasilan yang kurang seperti ini.

"Iya memang, gaji Abang tak seberapa. Tapi, Abang tidak mau memberatkan siapa pun. Tak mungkin juga Abang pulang ke kampung dengan tidak membawa hasil apa-apa. Tapi, kalau kau tidak siap dengan keadaan Abang seperti ini, baiklah Abang pamit, ya. Besok pagi Abang akan pergi," tegasku.

Aku lihat Oca menangis. Pasti ada yang terjadi, tetapi dia tak mau bicara. Aku tunggu beberapa saat. Lima menit kami hanya diam. Sepuluh menit air matanya tambah deras. Aku tak tahan lagi melihatnya menangis seperti itu.

"Baiklah Abang pergi. Mungkin besok Abang sudah tidak kerja lagi di sana."

Aku sudah melangkah meninggalkan halaman rumah indekosnya. "Bang " Dia memanggil.

Aku kembali lagi. "Iya, Sayang. Ada apa? Ceritalah. Kalau memang engkau tak mengharapkan Abang lagi, bicaralah. Abang siap dengar. Abang sudah biasa gagal."

"Bukan Bang ... bukan begitu. Tadi aku di kampus berantem sama Yana."

"Ada apa dengan dia? Diapakan engkau sama si Yana itu?" Emosiku langsung naik, ingin menghajar orang yang sudah menyakiti bidadariku.

"Dia itu sudah menghina aku, dia juga menghina Abang. Katanya aku tukang bohong, pada semua orang aku bilang punya pacar tentara ternyata hanya sales listrik."

Jadi itu rupanya. Orang yang kemarin mengenaliku itu si Yana. Berengsek juga dia.

"Besok Abang hajar dia."

"Jangan Bang, nggak usah. Semua juga tau dia songong. Dia menghinaku juga karena aku nggak pernah mau jalan sama dia. Kan, aku pernah bilang sama dia punya pacar tentara, jadi sekarang dia mau bilang apa pun, ya, mau gimana lagi. Aku hanya minta Abang jangan kerja di sana lagi."

"Baiklah, kalau itu maumu."

"Tapi ... Abang jangan pergi, ya. Abang pindah kerja tempat lain aja," pintanya.

* * * *

Usai pertengkaran itu, Abang meninggalkan tempatku. "Neng ... kenapa ribut? Berantem apa?" Ibu indekosku

menghampiri.

"Nggak apa-apa, Bu. Tadi teman di kampus ngejek aku dengan Abang."

"Ibu lihat si Abang itu orangnya baik, ya, sederhana sekali dan sopan."

"Iya, Bu. Abang sudah tiga kali tes Akabri, sampai pantukhir tapi belum rezeki. Dia nggak lulus-lulus. Aku ajak kuliah dia nggak mau. Katanya, kuliah itu belum tentu juga bisa dapat kerja. Tapi memang biaya kuliah juga Abang nggak punya."

Akhirnya, aku menceritakan semuanya kepada ibu indekos. Ya, semua penderitaan yang dialami Abang. Ibu indekos terharu mendengarnya.

"Ibu juga punya keponakan seperti Abang. Karakternya keras seperti itu, sepertinya dia hanya cocok jadi tentara, security, pelaut, pokoknya kalau mau kuliah juga harus yang sesuai dengan jiwa militernya yang keras."

"Tapi biayanya kan nggak sedikit, Bu. Aku sedih, Bu.

Aku mau bantu dia tapi gimana caranya?"

"Semoga ada jalan yang terbaik buat Eneng sama Abang, ya. Sabar, Neng."

"Iya, Bu. Terima kasih."

* * * *

Sore sampai malam itu aku ke tempat indekos Abang. Aku sempat ngobrol sama Sule sambil menunggu Abang bangun tidur. Sule menyarankan untuk tidak memperpanjang masalah dengan si Yana di kampus.

"Bang ... ada Oca, Bang. Dia nunggu Abang dari tadi." Sule membangunkan Abang.

Malam itu aku sudah mulai tenang. Akhirnya, kami makan di tempat biasa, pecel lele di ujung jalan. Abang menuruti permintaanku untuk resign dari tempat kerjanya.

"Bang ... Sabtu besok kita ke Jakarta, ya, Bang. Aku mau Abang nganterin aku ke rumah Bang Darwin."

"Abang malu."

"Kenapa mesti malu. Kan, Walid juga sudah suruh Abang main ke sana." Abang diam saja. "Aku mau jalan- jalan ke Jakarta sama Abang."

"Baiklah. Tidak nginap, ya." "Lihat nanti aja."

* * * *

Seminggu berlalu. Sabtu subuh, kami sudah ada di dalam bus Primajasa Bandung-Tanjung Priuk menuju rumah Bang Darwin. Bang Darwin itu keponakan Walid yang pernah kuliah di Akademi Ilmu Pelayaran. Sekarang Bang Darwin sudah tidak berlayar lagi, mungkin sudah bosan.

Sesampainya di sana, kebetulan sekali Bang Darwin ada di rumah dan tidak ada acara keluar. Kami pun bisa bicara panjang lebar. Abang menceritakan pengalamannya gagal dari akademi militer yang ketiga dan sekarang sedang mencari informasi untuk masuk ke Akademi Pelayaran.

"Begini, sebaiknya Anta coba ke AIP tanya informasi. Nanti baru dapat informasi biaya dan waktu pendaftarannya. Tapi, di sana juga biasanya ada info diklat singkat untuk persiapan berlayar."

"Baik, Bang, nanti Anta tanya ke sana." "Mau ke mana lagi kalian habis ini?"

"Anta mau ke tempat adik Anta si Wawan. Dia ada di Jakarta sini juga, lagi kuliah di Ciputat, kalau Oca pulang lagi ke Bandung."

"Janganlah buru-buru kali, tidurlah dulu di sini." "Terima kasih, Bang."

"Umi sama Walid apa kabar, Ca?" Bang Darwin bertanya padaku.

"Alhamdulillah sehat, Bang." "Kirim salam Abang, ya." "Iya, Bang."

Sepertinya, Bang Anta tak sabar ingin segera pulang. Maka kami pun berpamitan. Abang mengajakku ke tempat adiknya si Wawan yang sedang kuliah di Perbankan di Universitas Ahmad Dahlan Ciputat. Namun, saat kami tiba di sana dia tidak banyak waktu untuk ngobrol bersama kami. Akhirnya, kami langsung pulang ke Bandung lagi sore itu. Kami memutuskan untuk menunggu kereta api yang paling akhir agar sampai di Bandung dini hari. Sambil menunggu waktu keberangkatan kereta, aku menemani Abang mencari informasi dari warnet yang ada di Stasiun Gambir.

"Bang, sebetulnya Abang masih bisa masuk ke AIP itu Bang, masih ada kesempatan pendaftaran sampai bulan depan dan buka lagi periode awal tahun depan."

"Tapi, apa engkau tak melihat itu biayanya. Lihat itu sampai lima juta. Mana mungkin bisa. Abang tak akan dapat uang sebanyak itu."

"Coba Abang tanya dulu sama umi Abang. Kalau Papah, kan, tak mungkin karena banyak kali anaknya. Tapi, Umi kan bisa. Apalagi sekarang Umi punya suami baru. Anaknya bukan hanya Wawan aja kan, Bang "

Akhirnya, Abang menuruti permintaanku untuk menelepon Umi. Dia menelepon uminya dari wartel yang ada dalam warnet itu.

"Asalamualaikum, Umi." "Wa'alaikumsalam, Anta ni?" "Iya, Umi."

"Di mana Anta?"

"Di Jakarta, Umi."

"Hah apa kabar Anta?"

"Anta gagal lagi, Umi. Kalau boleh Anta minta tolong sama Umi, Anta mau kuliah di pelayaran. Tapi biayanya lima juta. Anta hanya punya tabungan satu juta, masih kurang empat juta lagi. Apa boleh Anta pinjam dulu sama Umi? Nanti Anta kembalikan kalau Anta sudah bekerja."

"Wah, Umi tak punya uang sebanyak itu, Ta. Uang Umi sudah habis untuk si Wawan kuliah." Kasihan sekali Abang. Bisa kurasakan betapa hancur hatinya mendengar perkataan uminya itu. Seakan-akan anak Umi hanya satu Wawan aja. Dengan wajah lesu dia menutup telepon dan hanya bisa menghela napas panjang-panjang.

"Sabar abangku sayang. Pasti ada cara lain, ya."

* * * *

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang