1994 (2)

279 69 241
                                    

Aku segera mempersiapkan diri menuju Kodam I Bukit Barisan untuk mengikuti seleksi tahap kedua.

Satu per satu pemeriksaan aku lewati. Sejauh ini seleksi fisik lari 7,5 kilometer aku selesaikan sebelum 15 menit, push up 30 kali tak terlalu sulit bagiku, sit up 40 kali pun lancar, pull up 12 kali dan renang tak menjadi persoalan. Semua tes fisik bisa aku lewati dengan mudah.

Demikian juga dengan kesemaptaan. Pemeriksaan mata, telinga, hidung, mulut, dan organ-organ lainnya baik dalam maupun luar, tak ketinggalan pemeriksaan alat vital pun aku lewati dengan baik tanpa ada hambatan.

Selesai mengikuti seleksi, aku kembali pulang sembari menanti pengumuman tahap selanjutnya. Aku pulang ke rumah Umi di Stabat seperti permintaannya kepadaku. Sepertinya memang ada beberapa hal yang ingin dibicarakan denganku.

"Bagaimana urusan Anta? Apa Anta diterima jadi tentara?" Umi bertanya padaku saat kami makan malam bersama di rumahnya. Yah ... malam ini aku memang tidur di rumah umiku di Stabat.

Umi berasal dari keluarga yang disegani di daerah ini. Ayah Umi adalah orang nomor satu karena merupakan keturunan dari Sultan Stabat, sedangkan ibunya merupakan anak dari pemuka agama di Besilam yang sangat dikenal di daerah ini.

Aku tak begitu mengerti mengapa Umi sampai meninggalkanku bersama Papah. Umi sama sekali belum pernah menjengukku, sampai aku sendiri yang menemuinya dahulu saat aku masih kanak-kanak. Aku juga tak mengerti apa yang menyebabkan Umi dan papahku berpisah, padahal Mamak menjadi ibu tiriku jauh setelah Umi meninggalkanku.

Menurut yang aku dengar, papahku adalah orang yang kasar. Namun, selama hidup bersama Papah, aku tak pernah melihat kekasaran itu. Aku dibesarkan Papah dengan kerasnya kehidupan, itu betul. Namun, kalau Papah kasar secara fisik aku tak merasakan hal itu.

Suasana tempat tinggal Umi jauh lebih nyaman daripada di rumahku. Serba bersih dan tertata rapi, semuanya tersedia. Alangkah beruntungnya Wawan tinggal bersama Umi. Bisa merasakan lembutnya belaian kasih sayang ibunda. Sedangkan diriku, siapa aku ini?

Aku tak bisa mendefinisikan apa itu kebahagiaan. Aku hampir jauh dari bahagia. Satu-satunya kebahagiaan yang aku rasakan adalah memiliki dirinya, teman kecilku yang sangat menyayangiku. Dialah yang senantiasa mendoakanku dan ingin sekali melihatku bahagia. Bidadariku yang baik hati.

"Belum, Umi. Anta masih nunggu pengumuman seleksi kedua," jawabku.

"Umi mau menyampaikan berita pada Anta."

Aku masih diam menunggu apa yang akan dikatakan Umi.

"Umi mau menikah lagi. Ada duda mati istri meminang Umi. Dia tinggal di Dumai, kerja di kantor ADPEL Syahbandar Dumai. Umi ingin minta tolong Anta untuk menyampaikan pada Papah, ya, Umi minta izin. Setelah Umi menikah nanti, Anta bisa tinggal bersama Umi. Apa Anta bersedia?"

Aku tetap diam.

Saat itu aku tak tahu apakah ini kabar baik atau kabar buruk bagiku. Apa sebenarnya yang ada di pikiran Umi? Setelah hampir 18 tahun meninggalkanku, sekarang dengan mudahnya meminta tolong padaku untuk menyampaikan rencana menikahnya pada Papah, dan mengajakku tinggal bersama ayah tiri. Umi benar-benar tidak memikirkan perasaanku.

Sebetulnya jauh di lubuk hatiku, aku berharap suatu saat nanti Umi dan Papah bisa bersatu lagi. Aku ingin punya orang tua dan keluarga yang utuh, seperti teman-temanku yang lain.

Namun, sekarang aku mendengar langsung dari Umi, wanita yang melahirkanku minta izin untuk menikah lagi. Mungkin memang aku tak boleh bermimpi untuk bahagia.

"Anta ... bagaimana menurutmu? Bisakah tolong Umi?" tanyanya lagi.

"Baiklah Umi. Untuk menyampaikan sama Papah nanti Anta akan coba. Tapi untuk ikut Umi dan tinggal dengan ayah tiri sepertinya Anta tak bisa. Maafkan Anta," jawabku.

"Kenapa tidak bisa?!"

Tiba-tiba, Wawan menyela dengan sedikit berteriak.

"Kenapa Bahyong tak bisa? Atau tak mau Bahyong tinggal sama Umi, ya?"

Tak tahu sopan santun betul rupanya anak ini. Tak bisakah dia bicara santai tanpa membentak. Aku ini, kan, lebih tua darinya.

"Kenapa bukan Wawan aja yang Umi bawa ke sana untuk tinggal sama Umi?" tanyaku pada Umi sambil melihat tajam ke arah Wawan.

"Tak bisa, Anta. Dia kelas tiga SMA. Tak mungkin dia pindah sekolah karena mau ujian. Lagi pula, kalau dia lulus nanti akan pigi ke Jakarta kuliah di sana."

Oh begitu rupanya? Senangnya menjadi Wawan, bisa dia kuliah di Jakarta. Sedang aku? Untuk makan pun harus menjual hasil ladangku dulu.

"Nanti Anta pikirkan lagi. Umi, apa Anta boleh istirahat?" tanyaku.

Aku merasa sudah tak nyaman di sana. Hatiku terasa sakit, sampai mengalahkan sakitnya seluruh badanku setelah tiga hari babak belur seleksi di Medan.

Umi mengangguk, "Tidurlah Anta."

Pagi-pagi sekali aku berpamitan meninggalkan Stabat. 

*****

Sedih, bingung, kecewa.. Semua berkecamuk dalam perasaan Anta..

Seorang anak usia 18 tahun.


Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang