Hidup adalah perjuangan tiada henti. Begitulah seperti yang pernah atok katakan kepadaku dahulu. Aku akan mencoba kembali peruntunganku yang ketiga dan terakhir untuk menjadi seorang tentara. Prajurit sejati yang aku cita-citakan selama ini. Tahun depan aku akan kembali ke lembah Tidar meraih impianku untuk berjuang yang terakhir kalinya.
Sejauh ini dalam perjalananku sudah hampir sepuluh kota di negeri ini aku singgahi, namun masa depan yang kutuju itu belum tampak jua. Terakhir Kota Bandung, setelah kutinggalkan belahan jiwaku di sana, aku kembali ke Pekanbaru menemui Ami Fikar. Tidak ada pilihan bagiku. Kegagalan dua kali telah sangat membuang waktuku, begitu menurut ami Fikar. Aku disarankan untuk kuliah sambil mempersiapkan diri kalau masih ingin mencoba kesempatan terakhir, ami Fikar bersedia membantuku.
Kupanggul ransel saat tiba di bandara udara Simpang Tiga Pekanbaru persis seperti prajurit kalah berperang. Di tangan kiriku setumpuk poster kalender tahun 1996 sudah siap dijual. Lumayan untuk menambah uang saku selama aku tinggal di kota ini. Tujuanku komplek Korem 031 Wirabima Pekanbaru.
Sesampainya di rumah Ami Fikar, kuceritakan semua pengalamanku selama tiga minggu mengikuti seleksi calon Taruna di Akademi Militer Magelang. Sampai pada saat pembacaan pengumuman akhir (pantukhir) yang memanggil namaku bersama dengan ribuan peserta lain yang harus tersingkir.
"Ya sudahlah. Biar jadi pengalaman untuk tahun depan." Ami Fikar mencoba memberi motivasi kepadaku.
"Tinggallah engkau di sini. Besok pergilah daftar kuliah di Universitas Islam Riau ya. Ambillah jurusan apa saja yang kau suka."
"Baik ami." Aku mengikuti semua arahan dari Ami Fikar.
****
Jarak tempuh dari komplek Korem 031 Wirabima ke kampus Universitas Islam Riau menghabiskan waktu kurang lebih 45 menit. Aku harus berjalan kaki dulu dari rumah Ami Fikar ke jalan utama jalan Jendral Sudirman sejauh dua kilometer lalu dilanjutkan dengan naik angkutan mahasiswa ke daerah Marpoyan. Kampus ini sangat rindang masih dipenuhi pepohonan yang menjulang. Aku duduk di bawah pohon akasia sambil mengisi form pendaftaran. Kupilih jurusan teknik sipil.
Setelah semuanya selesai aku menuju ke rumah sepupuku Sofi. Dialah yang memesan poster kalender 1996 yang aku bawa dari Bandung. Sofi kebetulan bekerja di sebuah wartel milik keluarganya disana.
"Alamak, cantik-cantik kali desainnya ini. Tak sampai satu bulan pasti sudah habis terjual." Katanya.
"Anta bisa pesan lagi kalo ada permintaan bang." Aku makin bersemangat. Dalam hati aku berharap semoga ini bisa menjadi tambahan penghasilan untuk kebutuhanku selama tinggal di Pekanbaru.
Kuterima hasil daganganku yang pertama. Lumayanlah. Tak mungkin aku minta pada papahku yang punya banyak anak dan istri yang tidak pernah menganggapku sebagai anaknya. Tak mungkin pula aku minta pada umiku yang memang tidak pernah membesarkan aku. Tentulah bukan aku anak yang beruntung itu. Hidupku jauh dari kasih sayang. Mungkin saja dalam perjanjian perpisahan kedua orangtuaku, aku tidak ada dalam kamus keluarga umiku karena aku dibesarkan oleh papah. Sehingga umi hanya mengasihi satu anaknya saja. Aku pulang ke rumah ami Fikar dengan wajah berseri, karena semua daganganku habis dan sudah dapat pesanan lagi untuk bulan depan.
Kulihat mobil Ami Fikar sudah ada di rumah, berarti dia sudah pulang. Mulai hari ini aku harus bisa membawa diri dengan baik karena tinggal di rumah orang. Aku akan tinggal satu kamar dengan anak laki-laki Ami Fikar, Wawan namanya. Dan itu juga aku harus menelan banyak pil sabar karena Wawan luar biasa bandelnya. Tapi walaupun begitu Wawan juga anak yang memiliki rasa humor tinggi.
"Hei Ta, sudah pulang engkau. Bagaimana tadi di kampus baru? Sudah mendaftar kan." Tanya Ami Fikar.
"Iya sudah ami. Anta sudah pilih jurusan teknik sipil. Kuliah akan mulai tiga hari lagi." Jawabku
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Kawan Kecilku
Teen Fiction🌺Based on True Story👍 Mw cerita yang beda dari yang lain.... ? Inilah kisah cinta paling dramatis yang jarang ditemui. Anta dan Oca telah saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Mereka memiliki cita-cita tinggi yang ingin diraih, siapa sangka be...