Nada-nada Cinta 4

291 72 248
                                    

Setelah istirahat salat Zuhur, kami makan siang di teras samping rumah Atok. Kakek Usman rupanya sudah menyiapkan makan siang sederhana. Aku juga sempat masak udang tauco dari hasil tangkapan kami tadi.

"Ayo, ayo makanlah yang banyak." Kakek Usman minta kami semua untuk menghabiskan makanannya.

"Ini dia udang galah tauco, mantap kali kau, Ta. Pandai juga masak, ya. Sudah lama Ami tak makan udang sungai ini, Anta." Ami Farhan mengomentari masakanku.

Selesai makan, Oca menghampiriku.

"Bang, katanya Abang mau bikin ikan bakar buatku."

"Tapi kita, kan, tadi tak dapat ikan besar," jawabku.

"Jadi kita tak jadi, ya, bakar-bakarannya?" rajuknya.

Manja juga dia ini, ya.

"Hmm ... gini aja. Yuk kita cari burung, nanti Abang bakar kalau dapat, ya."

Matanya membesar, dia mencubit pipiku. Aku jadi tersipu.

"Tapi Oca yang pinjam senapan sama Atok, ya. Abang tak berani," kataku.

Dia mengangguk.

Tanpa pikir panjang lagi dia berlari menghampiri atoknya dalam kamar. Tak berapa lama, Kakek Usman keluar sambil membawa senapan yang biasa dipakainya saat berburu bersamaku.

"Anta, kamu bisa pakai ini?" Kakek Usman memberikan senapan itu padaku.

"Iya, bisa, Tok."

Atok tertawa.

"Kamu ini memang luar biasa, Anta, serba bisa. Pakailah, tapi hati-hati, ya."

Kami pun pergi menuju ladang belakang rumah Atok. Tak lupa aku membawa mancis dan sedikit bumbu untuk membuat burung panggang nanti. Di sana memang banyak sekali burung balam.

"Jangan lupa bawakan juga buat Atok, ya!" pesan Kakek Usman sebelum kami pergi.

Kami berdua jalan lumayan jauh, dan sesekali bergandengan tangan. Sabar sekali dia menemaniku. Sesekali kami berhenti untuk menembak burung.

Door!!! Terbang itu burung.

"Bang! Abang ... itu di sana," katanya sambil menunjuk ke atas.

"Ssst. Diam, ya," kataku sambil menaruh telunjuk di depan mulut. Mengendap-endap aku membidikkan senapan ke arah burung itu.

Door!!

"Wuih hebat!! Abang udah kena itu burungnya," teriaknya sambil tepuk tangan.

Dia bersiap untuk lari mengambil burung itu, tetapi aku tangkap tangannya.

"Biar Abang aja yang ambil, kamu tunggu di sini, ya. Ini kupas dulu bawangnya. Katanya mau makan burung panggang," kataku sambil tersenyum.

Dia menuruti perintahku.

Kami mencari tempat yang agak teduh di pinggir selokan yang airnya mengalir. Aku segera membersihkan burung itu untuk dibakar. Lumayanlah tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk kami berdua. Tak lama kami pun menikmati panasnya api kecil yang aku buat untuk memanggang burung itu.

Oca membantuku mengipas-ngipas dahan pohon yang sudah membara sambil berteriak- teriak kepanasan. Burung panggang yang kami buat itu menambah rasa bahagia di hatiku. Kubiarkan dia menyantap lebih banyak. Aku senang sekali melihat dia makan dengan lahap.

"Enak bener, Bang. Abang memang hebat, ya," pujinya.

"Bener kata Atok, masakan Abang enak sekali. Udah lama, ya, Abang belajar masak-masak kayak gini?" tanyanya.

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang