Pertemuan yang Menjengkelkan 3

319 80 265
                                    

Pulang sekolah, aku sudah menyusul Papah ke ladang. Sepedaku yang selalu setia menemani, kukayuh kencang sekali karena Kakek Usman memintaku untuk membantu panen rambutan di ladangnya. Saat aku sampai di rumah Kakek Usman ternyata si Oca sudah bersiap-siap dengan karung untuk menyimpan rambutan yang akan dipanen.

"Abang, kenapa lama sekali? Aku sudah menunggu dari tadi lho. Ayolah, Bang, nanti keburu siang, panas." Oca menarik tanganku dengan terburu-buru.

"Kenapa kamu takut kepanasan? Kan, kulitmu sudah hitam." Tak sengaja mulutku berucap agak ketus padanya dan itu pun langsung membuatku kaget sendiri.

"Nggak apa-apa, Abang. Semua orang bilang kalau aku si hitam manis." Kakek Usman dan istrinya hanya tersenyum melihat kami berdua.

"Hati-hati, ya, Anta. Tolong diawasi Tilo, jangan sampai manjat-manjat ke atas pohon, banyak semut. Ini Atok bawakan kue talam buat kalian makan di sana." Istri Kakek Usman memberikan bungkusan kecil padaku, dan kami pun bergegas menuju pohon rambutan Atok yang sedang banyak buahnya itu.

Sepanjang jalan menuju pohon rambutan, aku sesekali melirik ke arah gadis kecil di sampingku. Sepertinya dia periang, kerjanya nyanyi terus sambil tersenyum-senyum kalau dia melihatku. Aku jadi berpikir, baik hati sekali anak ini, aku bilang hitam dia tak marah. Aku jadi merasa bersalah.

"Boleh aku tanya sama kamu? Kenapa Atok memanggilmu Tilo?" Aku mulai mencoba menyapanya.

"Ooo itu karena aku suka sekali nyanyi lagu sinanggar tulo tulo a tulo ooo." Dia menjawab enteng sambil tertawa. Aku ikut merasa senang mendengar dia tertawa riang seperti itu. "Memang kenapa, Abang Anta?" Dia balik tanya padaku.

"Eh ... tak apa. Cuma aku kurang suka mendengarnya. Namamu kan bagus, kok dipanggil dengan panggilan jelek begitu." Aduh kenapa, ya, aku suka sekali bilang jelek sama Oca, padahal dia kelihatannya anak yang baik walaupun sedikit tengil.

"Kalau Abang terserah mau panggil aku apa aja, soalnya kata Umi sebutan atau panggilan itu nggak terlalu penting. Yang penting kita punya hati yang baik." Aku pun terdiam mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya itu.

"Kita sudah sampai. Engkau tunggu di sini, Abang mau manjat dulu ke atas. Nanti kaukutip buah rambutan yang Abang lempar, ya." Aku segera bersiap naik.

"Bang, hati-hati, ya, banyak semut." Rupanya dia masih ingat pesan Atok Wan tadi di rumah. Memang pintar dan baik gadis kecil ini, pikirku.

Aku sudah naik tinggi ke atas, tetapi masih banyak rambutan yang tinggal di ujung-ujung dahan. "Wooii ... tolong ambilkan galah panjang itu, ulur ke sini! Bisa, kan?" Aku berteriak dari atas.

"Okey, Baang!" Dia mengulurkan galah panjang yang sudah disambung dan diikat tali. Namun, saat aku akan menarik buah-buah rambutan di ujung dahan, tiba-tiba sambungan galah itu lepas dan jatuh, ujungnya mengenai wajah gadis kecil yang sedang menungguku di bawah pohon.

"Aduh ... Abaaang. Mataku sakit!!" teriak Oca. Aku langsung terhenyak kaget. 'Alamak! Buta mata anak orang ini kubuat' pikirku. Bergegas aku turun dan menghampirinya. Kuperiksa wajahnya, kulihat matanya, ada luka di sana. Sedikit berdarah di ujung alis dekat tahi lalat, tetapi untung sekali tidak kena mata.

"Maaf, ya, maaf, Abang tak sengaja," kataku, dan dia hanya diam. "Sakit? Kamu kenapa tak menangis?" lanjutku yang semakin keheranan melihat dia malah tersenyum.

"Kalau aku nangis nanti Abang sedih dan pasti dimarahi sama Atok."

Oh iya, tak terbayangkan olehku betapa marahnya Atok kalau tahu cucu kesayangannya celaka begini. Tanpa sengaja kupeluk gadis kecil itu dan kubawa duduk untuk diobati lukanya. Namun, aku bingung bagaimana cara mengobatinya?

Aku membuka baju kausku lalu membersihkan lukanya dengan air minum. Namun, rupanya gadis kecil itu malu lihat aku tak pakai baju. Sambil tunduk dia berkata, "Abang, kan, aku nggak apa-apa, Abang pakai aja bajunya." Mukaku jadi merah mendengar ucapannya itu, dan mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Gimana kalau Abang tempel daun kecil-kecil ini biar kelihatan seperti kotoran? Supaya lukanya tak terlihat sama Atok," usulku.

Dia mengangguk. Setelah beberapa saat kami beristirahat dan mengatur rencana supaya tak terlihat ada kecelakaan ini, kami pulang.

Sampai di rumah Kakek Usman, Oca langsung menghindar dari semua orang. Aku pun harap-harap cemas juga takut ketahuan. Celakanya, Atok Wan melihat tempelan daun yang sudah dirobek kecil-kecil dekat matanya.

"Tilo, kamu kelihatan dekil bener. Itu muka jadi jorok begitu. Mari sini Atok bersihkan."

Aku dan Oca semakin ketakutan.

"Oo ini kotoran, Tok, nggak apa-apa." Oca berkilah. Namun, malang tak dapat ditolak, daun itu pun jatuh seakan tak mau bersekongkol untuk menutupi sebuah kebohongan. Maka, terlihatlah luka kecil di ujung alisnya. Kakek Usman langsung menatapku dengan mata melotot.

"Kenapa Tilo bisa sampai luka begitu, Anta?! Kamu apakan dia?" Aku diam dan pasrah melihat Kakek Usman sudah mulai membuka ikat pinggangnya untuk mencambukku.

"Jangan, Atok! Jangan pukul. Abang nggak salah, dia nggak sengaja," teriak gadis kecil itu sambil menangis dan berlari ke arahku. Dia pun memelukku agar pukulan Kakek Usman tak mengenai badanku.

Tidak ada yang bisa kukatakan. Aku hanya mendengar teriakan Kakek Usman yang menyuruhku pergi, dan tak boleh datang lagi sampai cucunya pulang.

****

Bagaimanakah nasib Anta selanjutnya? Kasian ya gaees..

Ikuti terus ya.. Dijamin ingin tau kelanjutan cerita best seller ini.

Penasaran kaaan... 

Jangan lupa share sebanyak-banyaknya ya gaeees, sambil tunggu film pendeknya. ya...

Selamat menikmati.. 

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang