1994 (3)

285 71 242
                                    

Sepanjang jalan aku berpikir bagaimana menyampaikan pesan Umi pada Papah. Aku tak tega menyampaikannya, karena aku tahu Papah masih sangat menyayangi umiku. Papah pernah meminta surat bertanda tangan Mamak supaya dia bersedia menerima jika suatu saat nanti Umi akan kembali bersama Papah. Aku pernah melihat surat itu, dan tahu bagaimana surat itu bisa ada. Mungkin karena seringnya terjadi pertengkaran demi pertengkaran, bisa jadi juga karena perilaku Mamak yang jahat. Namun, isi surat itu tak pernah terwujud.

Tadinya aku mengira umiku juga masih mencintai Papah, karena sudah sekian lama hidup sendiri tanpa pendamping sampai usiaku sekarang. Aku berumur 1 tahun lebih saat dulu ditinggalkan Umi. Waktu itu Umi melahirkan adikku, Wawan.

Aku tak tahu pasti apa penyebab perpisahan kedua orang tuaku. Mendiang Atok Wan tidak menceritakan penyebab perpisahan itu. Atok Wan hanya mengatakan bahwa aku masih terlalu kecil untuk bisa memahami semua yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Papah pun tak pernah bercerita tentang perpisahannya dengan Umi. Mungkin Papah tak mau lagi mengenang pernikahannya yang terdahulu. Namun, setelah semakin dewasa, sekarang aku mulai menduga bahwa perbedaan karakter kedua keluarga besar merekalah yang menjadi penyebab perpisahan kedua orang tuaku. Mungkin terlalu banyak campur tangan itulah sebabnya.

Umi berasal dari keluarga yang disegani. Dia anak nomor tiga dan perempuan paling tua dalam keluarganya. Dan Siti, begitu aku memanggil ibu dari umiku, menginginkan anaknya itu tinggal dekat dengannya. Mungkin karena Siti sering kali mengadakan pengajian di rumah besar sehingga ingin Umi dekat agar kelak bisa meneruskan kegiatannya yang punya jemaah sangat banyak.

Papahku juga berasal dari keluarga terpandang di Tanjung Pura. Ayah papahku adalah anak bungsu dari putri Sultan Langkat yang terakhir, sebelum berakhir karena istana kesultanan Langkat hangus dibakar pada saat peristiwa pemberontakan PKI tahun 1948. Karena itulah semua keluarganya dimakamkan di pemakaman keluarga di samping Masjid Azizi. Sedangkan ibu papahku merupakan salah satu dari putri kesultanan Siak, anak dari Syaid Sulaiman, yang sampai sekarang masih bisa dilihat di Museum Istana Siak Sri Indragiri.

Dahulu pada saat Umi melahirkan Wawan, dia pulang ke rumah orang tuanya di Stabat dan tak pernah kembali lagi.

Sejak tiba di rumah, aku belum menceritakan berita tentang pernikahan Umi kepada Papah. Aku belum menemukan waktu yang tepat. Hari ini aku bersama Papah memanen pepaya dari ladang Kakek Usman. Sebelum pergi

ke Jakarta, Kakek Usman menitipkan perawatan ladangnya dan memberikan semua hasil panennya kepada papahku sampai waktu yang belum bisa ditentukan.

"Sepi sekali ladang ini tanpamu, Tok." Aku membatin sendiri.

Lepas istirahat salat Zuhur di musala Atok, aku memberanikan diri bicara dengan Papah.

"Pah, kemarin waktu pulang dari Medan, Anta singgah rumah Umi, tidur di sana. Umi menitipkan pesan untuk Papah."

Papah mendengarkan sambil mengisap rokoknya.

"Oh ya, apa itu?"

Aku agak ragu untuk menjawab.

"Umi ... Umi minta izin untuk menikah lagi."

Papah menghentikan isapan rokoknya,

"Kamu tidak melarangnya?"

Aku terdiam tak tahu mau berkata apa.

"Umimu sampai sekarang dia itu belum aku cerai supaya kau tau, ya, ...!"

Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Sepanjang sore aku tak berani berucap apa-apa lagi.

* * * *

Hari itu serasa langit runtuh di atas kepalaku. Aku sudah terima pengumuman hasil seleksi kesehatan dan aku dinyatakan tidak lulus. Hilang sudah kepercayaan diriku.

Hanya karena sedikit cacat, itu sudah cukup menghancurkan seluruh cita-citaku yang sejak kecil aku impikan.

Ya ... hanya karena varises di belakang lututku, semua hasil terbaikku tak bisa menjadi pertimbangan untuk membantu kelulusanku.

Tak kuasa aku memandang wajah Papah. Selama ini Papah selalu mendukung cita- citaku karena ingin sekali anaknya menjadi perwira seperti muridnya, Agus Surya Bakti. Ada guratan kekecewaan di matanya, tetapi dia tetap berpesan kepadaku supaya jangan putus asa.

Terbayang wajah sang bidadari, terlintas pula kenangan bersama Kakek Usman. Sejenak pikiranku buntu tak bisa berpikir apa pun. Isi kepalaku hanyalah masa depanku yang suram.

"Maafkan Anta, Pah. Anta gagal."

* * * *

Bulan September 1994, Umi akhirnya menikah juga. Aku tak merasakan apa pun. Bagiku, Umi menikah atau tidak menikah, tidak ada bedanya. Aku juga tidak berencana apa pun dalam pernikahan Umi.

Tawaran Umi agar aku bisa tinggal bersama mereka di Dumai tak pernah aku ingat-ingat lagi.

Sampai suatu hari, Umi berkata,

"Anta ... pikirkanlah untuk tinggal bersama Umi dan Ayah di Dumai. Anta, kan, tau Umi tidak bisa temani Ayah setiap waktu. Umi harus ngajar di Stabat dan hanya bisa 3 hari di sana. Sedang Umi lihat Anta tidak ada kegiatan apa-apa."

Aku sebetulnya agak malas bicara soal ini.

"Kenapa bukan Wawan yang tinggal di sana menemani Ayah?" tanyaku.

"Wawan sudah tidak bisa diganggu. Karena sudah kelas tiga, tak bisa dia pindah sekolah sampai lulus tahun depan."

Aku masih belum berkomentar.

"Ayah akan bantu Anta masuk kerja di Syahbandar. Kalau Anta tinggal di sana, bisa lebih mudah urusannya."

Aku belum bisa berpikir apa-apa.

"Anta mau minta izin dulu sama Papah, ya, Mi. Selama ini Anta tinggal sama Papah."

Aku lihat mata Umi berkaca-kaca. Kata-kataku barusan sepertinya membekas sangat dalam di hati Umi. Bagaimana tidak, selama ini Umi tak pernah merawatku. Aku dibiarkan tinggal dengan Papah dan ibu tiri yang kejam. Namun, pada saat Umi butuh seorang anak untuk menemani, akulah yang dipilihnya.

* * * *

"Pah, Anta mau minta pendapat Papah."

Aku sudah memutuskan untuk menerima tawaran Umi. Di ladang inilah aku bisa bicara bebas dengan Papah. Tempat di mana kami dahulu biasa bercengkerama bertiga dengan Kakek Usman. Juga tempat aku pernah menghabiskan waktu sehari suntuk bersama bidadariku.

Belum ada kabar berita dari Oca. Memang sudah sekitar 1 tahun belakangan ini kami agak jarang berkirim surat sejak dia pindah ke Bandung kelas dua SMA.

"Apa itu Anta?" tanya Papah.

"Umi mengajak aku tinggal bersama di Dumai. Katanya, Ayah itu mau membantu Anta masuk kerja di Syahbandar."

Papah masih diam.

"Papah tau, kan, bagaimana sikap Mamak sama Anta. Lebih-lebih setelah lulus sekolah ini, Mamak yang sudah ngajak ribut jadi berani menghina Anta. Dia bilang aku anak tak berguna. Sudah selesai sekolah masih menjadi beban orang tua. Aku ini pengangguran."

Aku berkata lirih. Kutahan semua kepedihan membayangkan perkataan-perkataan kasar dari mulut Mamak.

"Terserah Anta saja. Sekarang kamu sudah dewasa. Pilihlah yang terbaik buat masa depan Anta. Ambil hikmah dari semuanya, ya. Satu saja pesan Papah, jangan pernah putus asa. Papah yakin kau akan berhasil. Kalau berhasil baru kau pulang."

Papah berkata sambil memegang pundakku.

* * * *

Aku meninggalkan kampung halaman untuk pertama kalinya. Meninggalkan Papah, ladang, dan semua yang telah menemaniku sampai saat ini. Tak berselang lama, aku mendengar berita kematian Kakek Usman. Orang yang selama ini sudah banyak menjadi inspirasi bagiku. Hatiku seperti tersayat-sayat sembilu. Teringat akan semua kebaikannya, kasih sayangnya. "Ya Allah ... berikanlah tempat terbaik di sisi-Mu untuk Atok."

1994 yang tak terlupakan. Sepanjang tahun aku dilanda kesedihan. Kehilangan demi kehilangan aku rasakan silih berganti. Di saat diriku menyelesaikan pendidikan terakhirku di bangku SMA, sesungguhnya saat itulah baru dimulai perjuangan hidupku.

Doa Kawan KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang