25.

647 46 3
                                    

Kembali bersama aku disini, terimakasih yang masih setia menunggu cerita ini. Big thanks pokoknya untuk para pembaca yang hanya kurang dari dua puluh orang (aku hitung dari jumlh vote), semoga kalian menemani aku sampai akhir.

Happy read
.
.
.

"Bos, hasil dari sidik jari sudah keluar." Pagi-pagi sekali, Jere sudah gegas melapor pada Tuannya.

Wajah kusut yang dipaksa untuk terjaga itu, perlahan berubah segar ikut mencakar sinar pagi. Musa sempat terhuyung sebab begitu bergegas dan semangat berlari ke kamar mandi untuk bersiap, pun Jere sama bersemangatnya sambil melangkah keluar apartemen untuk menyiapkan mobil.

"Bos, apa yang anda harapkan dengan hasilnya? Apakah anda berharap Pak Yovie kecelakaan atau bunuh diri?" Tanya Jere membuka percakapan sambil fokus menyetir.

Musa masih bungkam sembari bersandar pada kaca mobil, sejujurnya ia juga tidak mengetahui keinginanya sendiri. Ia belum siap dengan hasil diluar ekspektasinya, dan ia pun belum menyiapkan berbagai solusi untuk beberapa kemungkinan itu.

"Bagaimana dengan Yaris, apakah dia sudah sadar?" Musa memutar topik.

Jere sesekali memandangi spion tengah mobil itu untuk berinteraksi dengan Musa, "belum, Bos."

"Apa yang telah mereka lakukan sehingga membuatnya sangat parah," gumam Musa geram saat mengingat perlakuan bawahannya dalam mengurus Yaris yang begitu di luar batas.

Lalu hari pun berlanjut saat mereka sudah memasuki ruangan penyelidikan, rasa ketegangan beradu dengan kepenasaran tanpa jeda menjadi bumbu penikmat siang yang gersang itu.

"Pada botol kopi itu tidak terdapat sidik jari sama sekali, Pak. Kami sudah mengeceknya beberapa kali," ucap polisi itu mengutarakan sedikitnya bukti proses pengambilan sidik jari yang katanya tidak ada.

Gurat wajah pria itu berubah menjadi tampang yang mengerikan dan dingin, disertai death stare yang terasa mencekik.

"Berarti ini bukan kecelakaan ataupun bunuh diri. Tapi...."

"Percobaan pembunuhan." Tatapan mereka saling beradu menyatukan koneksi.

"Dan pasti si pembunuh masih mengincar Yovie, karena dia pasti tahu bahwa Yovie belum mati." Polisi itu menyahuti menggambarkan bahwa mereka sepemikiran.

"Karena Yovie adalah satu-satunya saksi kunci," timpal Musa dengan gelagat serius.

"Padahal yang saya tahu Yovie itu cukup pendiam dan tipekal yang tidak mungkin mempunyai musuh," sahut Jere.

"Dia bukanlah musuh Yovie, tapi musuh gue."

"Dia ingin menjatuhkan gue melalui skandal ini, mengompori masyarakat agar mereka ikut menuding kalo alat keamanan kita gak memadai. Dan semua rencana menjadi kacau. Tapi dia gagal," kekeh Musa.

"Jadi dalam semalam semuanya berubah hanya karena botol kopi itu?" Jere bertepuk tangan ria.

"Investigasi masalah alat keamanan pembangunan anda kami ubah menjadi penyelidikan pembunuhan." Si polisi menepuk sebelah pundak Musa.

"Carikan setidaknya delapan pengawal untuk menjaga pintu kamar perawatan Yovie dan pintu masuk rumah sakit itu, cepat!!"

"Siapp, Bos!!"

"Dan.."

Pergerakan Jere kembali berhenti.

"Jaga Sephia."

Jere meremas tangannya, "bagaimana bisa seperti itu, Bos. Justru yang harusnya dilindungi disini adalah Bos."

"Shitt! Bahkan dalang dari Yaris aja gue belum tahu, sekarang ditambah kasus ini." Musa mengendurkan dasinya sarkas.

"Bos.."

"Pokoknya kerjakan apa yang gue perintahkan, gue bisa jaga diri gue sendiri." Musa mempertegas konotasi kalimatnya.

*****

Dengan langkah yang ringkih dan perasaan yang luruh lumpuh, Musa berjalan mendekati posisi Yovie yang masih terbaring koma dengan beberapa alat medis membalut area tubuhnya. Terlihat juga sang  istri yang tak ada habisnya menangis sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tua, pun beberapa hidangan makanan pemberian kerabat yang sepertinya belum ia sentuh sejak pagi begitu memenuhi meja.

"Maaf..." gumam Musa dengan suara yang tipis dan terdengar putus asa.

Wanita bernama Maudry itu mengusap punggung Musa dengan tegar, "bukan salah lo."

"Gue berjanji akan menyeretnya kesini untuk mencium kaki lo," ucap Musa tegas.

Maudry berdesis halus, "gak perlu, gue bahkan sudah ikhlas saat Yovie masih disini.  Karena melihatnya menderita dengan alat-alat ini membuat gue tambah hancur."

Musa takjub, bahkan ketika ia sudah pesimis bahwa suaminya tak akan kembali pun. Ia tidak menyalahkan siapa pun, bahkan merasa lebih baik suaminya pergi secepatnya daripada melihatnya tersiksa di dunia seperti ini.

"Maudry, semua akan baik-baik saja. Yovie akan kembali," timpal Musa berusaha menenagkan.

"Gue hanya bisa berpesan untuk lo, tetap hati-hati. Dan terimakasih atas pengawalnya, gue merasa lebih aman sekarang," pungkas Maudry.

"Ya, lo gak perlu mengkhawatirkan gue."

Sekitar satu jam mereka saling beradu nasehat, dan setelah Musa melihat Maudry memakan makanannya. Ia merasa lebih lega untuk meninggalkan dia, Musa pamit untuk pulang agar Maudry juga bisa beristirahat.

Sambil  memainkan tanaman kaktus di meja apartemennya, pikiran Musa menerawang jauh mencapai cakrawala sore. Sedikit memahami dengan situasinya kini, sebenarnya ia sudah cukup lega karena proyek pembangunannya tidak jadi dihentikan dan ratusan karyawan pun selamat. Tapi praduga pada dalang dari kedua tragedi ini membuatnya cukup kewalahan, belum lagi kini ia mempunyai kelemahan yaitu Sephia. Dan pastinya akan menjadi sasaran paling enak untuk menjatuhkan dirinya.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk menggertak lamunannya yang panjang, ia menggerayangi di balik jasnya untuk menggapai ponsel.

From : 081827XXXX
Sedang mencariku?😎
Anda sepertinya kewalahan, Bos!!!😄

Musa mencengkram ponselnya keras, memindai pandangan pada sekitar luar jendela berusaha menemukan seseorang yang saat ini pasti sedang mengintai pergerakkannya.

Reply: Rupanya lo sedang bermain-main dengan gue

From : 081827XXXX
Anda akan merasakan apa yang saya rasakan!

Reply :Siapa pun itu, lo gak akan pernah menang melawan Musa

From : 081827XXXX
Bedakan antara menang, dan kabur!!

Suasana itu menciptakan determinasi tinggi bagi Musa, dengan semangat yang menggebu memerangi keparat yang telah mencelakai orang tak bersalah.

Kemudian panggilan masuk atas nama Harper muncul, Musa hanya berharap semoga itu adalah kabar baik.

"Halo."

Halo, Bos! Yaris sudah siuman!

Musa merasa secercah harapan telah mendekatinya, "terus? Ponselnya sudah bisa terbuka?"

Sudah, Bos! Apakah harus langsung saya hubungi?

"Gak usah, biar gue saja. Lo kirim nomor nya sekarang."

Lalu panggilan terputus darinya, menunggu kiriman sebuah nomor telepon sessorang yang menjadi dalang dibalik penghianatan Yaris.

Ia menekan copy-paste pada nomor kontak yang baru saja dikirim Harper padanya. Dengan tatapan bak siap menerkam, Musa menunggu panggilan itu tersambung pada yang bersangkutan. Rasanya tangan itu sangat ringan sehingga ia ingin memukulinya sampai mati.

Halo, dengan siapa ini?

"Arif Hartigan?" Kepalan tangan itu terlihat mengerat hingga rasa-rasanya ia ingin langsung menghajar seseorang.

____________

Catatan :

Death stare : Tatapan maut
Determinasi : Ketetapan hati dalam mencapai tujuan


Kisah Seusai Pisah  (BAGIAN II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang