37.

479 34 1
                                    

Semenjak perdebatannya kemarin dengan Musa, hari ini pria itu tidak menjemput dan mengantarnya pulang seperti biasa. Pun Raline yang sama hal dengan dirinya, ia terlihat dijemput oleh supir pribadi. Apalagi setelah mengetahui kebenaran bahwa Musa tidak sepenuhnya salah, debar hati mengatasnamakan rasa bersalah itu begitu mengaduk perasaannya. Namun ia masih berdiam pada kebenaran hakikatnya sendiri, merasa malu untuk meminta maaf dan gengsi untuk menghubungi Musa duluan sebab sumpahnya kemarin yang mengatakan bahwa ia tak mau bertemu dengan Musa lagi.

Ia akhirnya pulang dengan mengendarai sepeda motor usang itu lagi, sempat ingin melajukan motornya ke arah apartemen Musa. Namun ia mangkir kearah sebaliknya menuju rumahnya dengan perasaan pilu, sebab tak ada chat apalagi riwayat panggilan dari Musa sejak kemarin. 

"Pa_Ma, kalian gak kerja hari ini?" Raut bingung menggumpal di area dahinya yang mengerut melihat Martin dan Nayla sedang duduk di ruang keluarga dengan wajah tegang seperti sedang membicarakan hal yang serius.

Martin bangkit saat melihat putrinya sudah tiba, "kemarin kita tak sempat bahas ini karena kamu sudah tidur, jadi mari selesaikan pembicaraannya hari ini."

"Sepenting apa sampai kalian berdua tak pergi bekerja?" Tanya Sephia gugup.

"Kamu kembali pada Musa? Inikah alasan kamu putus dengan Liam?" Pertanyaan Martin langsung menembak pada satu titik.

Pupil matanya melebar saat nama itu disebut, "Papa bertemu dengannya?"

"Pagi-pagi sekali sebelum kami berangkat kemarin, dia datang," sambung Nayla.

"Maksudnya dia datang diam-diam, atau memang sengaja datang bertemu kalian?"

"Memangnya dia pernah kemari diam-diam?" Timpal Martin.

Sephia segera menggeleng sarkas, "bukan begitu, aku hanya tidak percaya dia kemari menemui kalian."

"Putuskan dia!" Tegas Martin sambil membuang pandang ke arah lain.

"Apa Papa belum puas telah memisahkan kami selama tujuh tahun ini? Lihat sekarang, kami bertemu kembali itu artinya takdir memang memihak pada kami!"

"Persetan dengan Takdir, Sephia! Dia itu anjing liar, monster! Kamu lupa pernah hampir mati satu kali gara-gara dia, dan sekarang tuli permanen hanya karena obsesinya itu jika harus Papa ingatkan!" Sentak Martin dengan nafas yang memburu.

"Sephia, dengarkan Papa mu. Kami seperti ini karena menyayangi mu." Nayla mencoba mengugurkan ketegangan.

"Apa jangan-jangan Liam memutuskan hubungan dengan mu karena kamu selingkuh dengan dia!" Hardik Martin menggema dalam ruangan tersebut.

"Setelah berpisah dengan Musa, tugas ku hanyalah tetap hidup. Bahkan aku menuruti perintah Papa saat harus pura-pura mati agar Musa tidak mencari ku, lalu berpacaran dengan Liam padahal Papa tahu aku tak bisa!"

"Dan Papa tahu, ternyata Liam adalah Adik Musa," lanjut Sephia membuat kedua orang tuanya terkejut.

"Apakah Papa tahu bagaimana perasaan Musa saat itu? Ia dibohongi habis-habisan oleh kita semua, tapi dia tidak marah. Bahkan dia tidak membenci Papa yang sudah memisahkan kita!"

"Liam lebih baik, ia pasti ikut menderita ketika tahu kamu berselingkuh dengan kakaknya!" Jawab Martin.

"Aku tidak berselingkuh!!"

"Papa tahu alasan Liam memutuskan ku?"

"Karena dia sadar bahwa selama ini aku tidak mencintainya, aku tidak bahagia! Orang asing pun sadar, kenapa Papa tidak pernah sadar!" Matanya mulai memerah dan berair.

"Kamu menggurui Papa sekarang? Sampai kapan pun tidak akan pernah masuk pada otak Papa untuk menerima Musa!"

"Bahkan hingga akhir Papa tidak tahu apa kebahagiaan anaknya, sekarang aku tidak peduli. Aku akan tetap bersamanya!"

Kisah Seusai Pisah  (BAGIAN II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang