41.

464 37 3
                                    

Kayaknya udah lama banget gaada scene romance mereka, sambil nulis, sambil di perdengarkan lagu-lagu dari Isabel. L dan diakhiri lagu Ariana grande "dangerous woman."

Selamat membaca
.
.
.

Mata yang sudah lama rapat tertutup itu nampak berkedut hingga akhirnya terbuka secara perlahan, lingkar pandangnya menyipit silau melihat cahaya lampu. Meskipun jari bergerak lembut, namun seruannya tak mampu menyadarkan seseorang di sampingnya yang sibuk meraung pilu sembari menutupi wajahnya sendiri atas kesedihan.

"Babe.."

Musa mencoba menggerakan jarinya lebih jauh lagi untuk menggapai Sephia.

"Musa? Kamu sadar sayang?" Gumamnya dengan kaget lekas menekan tombol untuk memanggil perawat.

Pria itu hanya mengangguk senyum, menampilkan bahwa ia benar-benar sudah bangun. Gegas, Sephia mendekapnya. Pelukan lembut serta tangis yang kian rebas membasahi baju rumah sakit Musa, dielusnya rambut Musa dengan memberikan beberapa ciuman lembut di puncak kepala dan pelipis pria itu tanda rasa syukur. Jemari mereka bertaut seolah tak ingin dipisahkan lagi, dan Musa pun sangat bahagia sebab ketika ia bangun untuk pertama kalinya. Ia melihat sosok ratu tercantiknya di samping kiri yang terus saja berdoa, dengan suara parau karena menangis.

Tak lama, dokter beserta perawat tiba. Lekas mengecek kondisi Musa, pun Liam yang ikut nampak lengkap dengan beberapa makanan yang ia bawa sebagai sajian camilan siang tadinya. 

"Kondissinya sudah stabil, tapi kita harus melihatnya lagi selama beberapa hari ini untuk menilai baik buruknya, " ucap dokter tersenyum ramah.

Mereka mengangguk, dan Sephia kembali pada pelukan Musa. Pelukan itu kian erat, sehingga membuat Musa bisa mencium jejak aroma lotion dari leher Sephia yang selama ini ia rindukan.

"Babe.. aku tidak bisa bernafas." Musa berbisik dengan nada menggoda sebab saat itu rambut gadisnya sudah mengubur wajahnya.

Sephia melonggarkan pelukannya, "Musa.. maafkan aku, tapi aku harus pergi sebentar."

"Sep_mau per_" patahan kalimat itu menggantung hilang sebab gadisnya telah hilang berlari.

"Biarkan dia sendiri dulu, dia perlu mencerna ini semua." Liam menepuk sofa panjang itu sebelum akhirnya merubuhkan tubuhnya dengan santai sambil menekuk tangan di jidat.

"Lo tidak pergi juga?" Sindir Musa pada Adiknya yang sudah mulai menutupkan mata.

"Hey! Lo harusnya berterimakasih sama gue telah menemani Sephia dalam penantiannya."

Musa berdecak," yakin hanya menemani? Tidak kau rayu dia?"

Sindiran itu berhasil membuat Liam bangkit, menggapai bingkisan camilan siangnya yang tadi ia beli sebelum ke rumah sakit.

"Lo tahu, dari dua hari lalu dia tidak pernah beranjak dari tempatnya untuk meninggalkan lo. Bahkan Om Martin kesini untuk menyeretnya pulang pun, dia tetap teguh duduk disitu." Telunjuknya menunjuk pada kursi di samping ranjang Musa sebagai saksi bisu penantian Sephia.

"Om Martin kesini?"

Liam mengangguk sambil membuka toples berisi kue kering, kemudian ia lahap dalam sekali suapan.

"Mereka berkelahi hebat, tapi untungnya Om Martin mau mendengarkan gue. Dia pulang, jadi setiap hari gue kesini karena takut Om Martin akan kembali menyeretnya pulang."

"Om Martin tahu lo adik gue?"

"Ya, tapi dia tetap lebih menyayagi gue daripada lo!" Ledeknya dengan suara tak karuan sebab cacahan kue kering masih memenuhi mulutnya.

Kisah Seusai Pisah  (BAGIAN II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang