36.

456 36 4
                                    

"Sephia, boleh kesini sebentar. Bantu aku," ucap Ilsa yang merupakan teman sesama guru itu menarik lengan baju Sephia pelan, menahannya agar tidak pulang dahulu sebab masih ada pekerjaan teramat menumpuk yang berhubungan juga dengan Sephia.

"Ada masalah?" Sephia kembali menurunkan tas yang tersampir di bahunya ke atas meja.

Ilsa memberinya beberapa kertas berisi tentang data siswa di kelas Sephia, "tolong bantu revisi kembali datanya, hapuskan nama Kaffi disana dan cetak ulang." Ilsa menakupkan kedua tangannya memohon agar Sephia membantunya, sebab itu berkaitan juga dengan kelasnya.

Gelagat bingung nampak dalam potret wajahnya setelah mendengar nama itu, sebab nama Kaffi yang Ilsa maksud adalah anak dari wanita tempo hari yang memarahinya hingga ia hampir menangis. Sephia baru menyadarinya, semenjak peristiwa tersebut Kaffi belum terlihat lagi mengikuti kelasnya.

"Sephia.."

"Sephia.."

Sephia mengerjap kaget dengan Ilsa yang menyikutnya, "maaf aku melamun."

"Jadi bagaimana? Kamu bisa bantu?" Tanya Ilsa dengan tatapan nanar memohon.

"Sini aku kerjakan, tapi Ilsa..."

"Ya?"

"Kenapa nama Kaffi dihapus?"

"Kamu tidak tahu? Dia pindah beberapa hari lalu karena tidak sanggup membayar sekolah semester ini."

Alis Sephia semakin berkerut sebab setahunya, Kaffi memiliki orang tua yang kaya raya.

"Jangan-jangan kamu juga tidak tahu tentang video itu?" Tebak Ilsa.

"Video?"

"Video kamu dimarahi Mamanya Kaffi sudah tersebar luas, masyarakat Singapore berkomentar membela mu. Karena sepatutnya pekerjaan guru itu memang mengajar bukan menjaga anak, tindakan wanita tua itu dikritik habis-habisan."

"Sampai-sampai Ayahnya pun dipecat dari profesi polisinya, sehingga keluarga mereka hancur dalam sekejap. Dan kamu harus tahu satu hal lagi..." Ilsa menarik tangan Sephia agar lebih mendekat.

"Mamanya juga sekarang sudah dipenjara." Ilsa memungkas ghibahnya.

"Hah?" Pikiran Sephia kalut dan kusut, memikirkan satu nama yang pasti menjadi dalang dari semua ini.

"Mangkanya punya sosial media, supaya gak ketinggalan berita," gumam Ilsa sambil menstaples beberapa kertas.

"Ilsa... bisa aku kerjakan ini besok pagi?" Tanya Sephia tampak tergesa-gesa.

"Tapi pagi-pagi sekali ya, aku membutuhkannya sebelum kepala sekolah tiba."

Sephia mengangguk cepat, gegas menerobos lorong kelas itu hingga parkiran. Hingga mendapati sosok pria yang melambaikan tangan ke arahnya, dengan tatapan hangat tanpa beban tengah menunggunya. Dalam langkahnya yang semakin mendekat, Sephia tak usai berfikir tentang korelasi akan variabel kesengajaan yang menjamah pada Musa.

"Raline sudah aku antar duluan, sekarang kita bisa berdua-duaan." Musa membukakan pintu mobilnya dengan senyum yang samar.

Sephia masih hening terlungkup dalam sebuah pemikiran positif yang bertentangan dengan logikanya, ia masih berfikir bahwa pasti bukan Musa yang melakukan itu. Menghancurkan satu keluarga dan menghancurkan hidup seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa, pikirannya masih kalut sambil menatap Musa dari samping.

"Babe, sebenarnya aku mau cerita sesuatu..." raut wajah Musa nampak sendu saat itu.

"Ya, aku juga mau menanyakan sesuatu," ujar Sephia lirih.

Kisah Seusai Pisah  (BAGIAN II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang