38.

464 35 10
                                    

Esoknya, waktu seperti begitu cepat berlalu.  Sephia tergoda oleh pemandangan pagi di balik tirai jendela apartemen Musa, nampaknya bangunan mewah memang berbeda. Lokasinya selalu strategis menempatkan pada titik gurat tuhan yang indah, nampak jelas pesona langit memutih dan berbagai kegiatan nan jauh disana sebab di belakang apartemen itu menghadap langsung pada bandara. Burung rakitan manusia itu terlihat mulai berterbangan secara perlahan, semakin jauh terbang hingga hanya terlihat seperti titik berkelip di atas sana.

Kemarin Sephia memutuskan untuk tidak pulang dan menginap di apartemen Musa, sebab ia tak ingin lagi berkelahi dengan Martin dan membahas itu-itu saja. Sayup teriakan Musa mencapai kamar itu untuk mengajaknya sarapan, Sephia menghentikan aktifitas memotret nya dan gegas menuju sumber suara yang semakin memelan itu.

Menu sarapan kali ini memang sederhana, hanya roti tawar yang dipanggang dan ditambahkan telur ceplok diatasnya. Musa menatanya dengan rapi, pun segelas teh hangat menemani pagi nan permai mereka yang sudah nampak bagai pasutri.

"Apa kegiatan mu hari ini?" Tanya Sephia membuka pembicaraan pagi.

"Tidak begitu sibuk, hanya mengecek progres restoran ku." Musa menjawab, namun matanya masih terfokus memotong roti.

Sephia manggut-manggut paham,"sudah sampai dimana progresnya?"

"Sekiranya beberapa hari lagi, kami sudah akan gunting pita sebagai peresmian."

Sephia menghentikan kegiatan menyeruput teh nya, "aku harus datang."

"Bagaimana tidur kamu nyenyak?" Tanya Musa menutup topik sebelumnya.

"Tempat mu nyaman, aku ingin tidur lwbih lama."

"Datanglah setiap kamu mau, my own heart."

"Kita sudah pernah seranjang sebelumnya, tapi tidak terjadi apa-apa. Terus kenapa tadi malam kamu lebih memilih tidur di sofa?" Sephia mengangkat sebelah alisnya penuh tanya.

Musa terbatuk akan pertanyaan polos itu,"sebaiknya tetap seperti itu sampai kita sudah menikah nanti, naluri pria ku terkadang tak bisa dikendalikan."

"Kenapa? Kamu tergoda oleh ku?" Goda Sephia mencoleknya dengan garpu yang ia pakai untuk memakan roti.

Musa mengangguk, "pacar secantik kamu rasanya terlalu kurang jika dinikmati wajahnya saja."

Kali ini Sephia yang terbatuk atas jawaban itu, padahal niatnya ingin menggoda Musa. Namun mengapa ia malah merasakan sebaliknya, dan bahkan sekarang ia merasakan jantungnya seperti akan jatuh.

"Jangan menggoda ku, Sephia. Susah payah aku menahan semalaman untuk tidak menyentuh mu."

"Aku harus pergi!" Seru gadis itu tak tahan untuk tidak memperlihatkan rasa malunya.

"Aku antar."

"Aku naik motor."

Musa membuang nafas dengan kasar, "motor butut itu selalu menghalangi ku!"

"Dia saksi perjalanan hidup ku saat tanpa kamu," jawabnya dengan nada menggerutu.

"Terimakasih untuk tempat peristirahatan dan pelayanan terbaiknya," sambung Sephia memuji seolah ia adalah pelanggan.

"Yakin tidak mau aku antar?"

Sephia menggeleng sekali lagi untuk mempertegas. Sementara Musa mengalah dengan mengapit wajah gadis itu dengan kedua tangannya, lalu mencium puncak kepalanya dengan lembut.

"Aku pergi, ingat! Jangan berkelahi lagi, aku tidak ingin mempunyai pacar cacat," ucap Sephia memperingati dengan nada bergurau.

******

Kisah Seusai Pisah  (BAGIAN II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang