15.

900 59 3
                                    

Sejak kemarin setelah kejadian di bus, Sephia mendadak menjadi pribadi yang hening selama perjalanan pulang setelah Tamasya. Logika Musa menariknya pada variabel lain, apakah Sephia marah?

Kini, ketika ia melihat gadis itu masih berada di parkiran menuju motor matic nya. Gegas, Musa memburu dengan langkah yang cepat.

"Sephia, tunggu!" Musa menutup jalan agar Sephia tak dulu pergi.

"Iya?"

Musa melepaskan satu kancing kemeja teratasnya, agar memudahkan ia untuk bernafas lebih keras.

"Maaf.."

Sephia masih geming di samping motornya, menunggu kelanjutan kalimat Musa yang tertahan dengan rasa groginya.

"Maaf untuk kejadian kemarin, aku takut kamu marah," lanjutnya sambil tertunduk tak melangkah lebih dekat sebab merasa malu.

"Musa..."

"Jika menurut kamu apa yang telah kita lakukan kemarin merupakan kesalahan, aku minta maaf. Aku akan melupakan semuanya dan menganggap semua itu gak pernah terjadi," sambar Musa memotong kalimat Sephia.

Sephia masih diam di motornya tak bereaksi apapun, membuat suasana terkesan ambigu.

"Tapi..."

"Jika kamu diam saja dan tidak keberatan, maka aku akan anggap berarti kita masih saling mencintai," lanjutnya ragu.

Sephia menunjukan senyum smirk nya, "pasti dipikiran kamu sekarang, aku terlihat seperti wanita murahan, kan?"

"Kamu terlalu menciptakan batasan yang cukup jelas, Sephia. Jangan lakukan itu," ujar Musa.

"Nyatanya aku tidak pernah bisa menciptakan batasan untuk kamu," lirih Sephia memangku pilu.

"Lakukan apapun yang kamu suka." Sephia mulai memakai helm dan menyalakan mesin motornya.

"Kalau begitu aku anggap kali ini kamu tidak keberatan," seru Musa menyimpulkan dengan berbalik arah menuju mobilnya.

*****

Di sisi lain, Liam yang masih terjaga dengan laptonya. Berulang kali mencuri pandang pada ponsel yang sedari tadi tidak menampilkan notifikasi pesan apapun dari Sephia, ia lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur sembari menatap langit rumahnya. Lalu ia beralih pada galeri ponselnya yang menampakan sederet ratusan foto dalam beberapa momen, dengan riasan tipis dan senyum yang menawan membuat Liam beberapa kali tersenyum sebab menerawang pada momen tersebut.

Ia lalu keluar kamar untuk mengisi energinya dengan camilan di dapur, namun geraknya terhenti ketika ia berpapasan dengan Musa yang baru saja masuk untuk mengantar Raline pulang. Keduanya tersenyum canggung tak ada yang berani mengangkat bicara duluan, Liam meneruskan jalannya menuju dapur untuk menyeduh teh tarik.

"Boleh gue minta satu?" tanya Musa kala melihat Adiknya menyeruput minuman hangat itu di dapur dengan asap yang masih mengepul.

"Hmmm," patuh Liam sambil mengambil satu sachet teh tarik lagi untuk Kakaknya.

"Gue gak pernah benci sama Lo.." ucap Musa sambil melihat Liam mengaduk minuman pesanannya.

"Gue cuma merasa Lo perlu tahu."

Liam tak menghiraukannya.

"Entah itu saat insiden Lo lebih memilih Papa, atau saat Lo pacaran sama Sephia. Gue gak pernah benci sama Lo untuk hal itu," ulangnya.

"Bullshit! Lo ngediemin gue selama bertahun-tahun, sejak gue pindah ke Singapore. Apa namanya kalo bukan benci?" sarkas Liam sembari menyerahkan teh tarik buatannya.

Kisah Seusai Pisah  (BAGIAN II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang