11.

865 57 2
                                    

Thanks yang msih setia menunggu, saking gaada notif voted atau komen. Aku jadi lupa udah gak up hampir seminggu😭

Enjoyy dear
.
.
.

"Sepertinya kita ini bukanlah tipe keluarga yang mesti selalu mengadakan pesta makan malam," sindir Musa pada semua orang yang sedang berkumpul di living room menanti meja makan sudah siap tertata oleh beberapa asisten rumah tangga.

Acara TV yang menyala hanyalah formalitas, tak ada yang menyimaknya sebab mengurusi ponselnya masing-masing. Lalu suasana berubah ketika kalimat pembuka dari Musa yang membuat pandangan semua orang berpaling padanya, atau mungkin juga tersindir oleh kalimat itu yang jika dipikir-pikir kembali ada benarnya.

"Sudahlah, Sa. Lo cuma butuh diem dan makan aja. Lagipula gue seneng semenjak Lo pindah ke Singapore, gue jadi merasa keluarga kita kembali utuh." Liam dengan pikiran positif itu entah mengapa membuat Musa kesal.

"Gue pindah karena urusan bisnis, bukan untuk menciptakan keluarga utuh seperti yang Lo gambarkan itu," sanggah Musa mematahkan khayalan Liam.

"Kenapa lagi sama Lo sih? Lo masih marah karena dulu gue lebih pilih tinggal sama Papa ketimbang Mama? inget ya, Sa. Gue relain pulang ke Indonesia cuma untuk menemani Lo saat dalam masa terpuruk ditinggal mati pacar Lo itu."

"Gak bisa ya, kita kayak dulu. Lo bukanlah Kakak hangat seperti dulu yang gue kenal, Lo udah terlampau berubah. Gak bisa ya hubungan saudara kita kayak dulu lagi? " lanjut Liam mengangkat suara perihal masalah usang yang belum saja usai diantara mereka berdua.

Namun Musa masih dengan sifat tanpa empatinya, beralih pada layar televisi dan meningkatkan volumenya.

"Randi bilang Lo dan Candra sudah baikan, gue gak bisa dapet kesempatan itu juga ya?" tutur Liam lagi.

"Gue dan Candra gak ada baikan."

"Omong kosong!" sarkas Liam.

"Perdebatan kalian ini sampai terdengar ke lantai dua!" Arif yang baru saja datang bergabung, langsung memperlihatkan gelagat kesal pada kedua anaknya.

"Sembunyikan kebencian Lo itu ya, apalagi saat pacar gue datang. Gue gak mau image keluarga kita jelek di otaknya!" Liam memperingati sambil perlahan bangkit.

"Wah kita ada tamu juga rupanya, bukannya ini adalah makan malam keluarga ya?" Musa menekankan kata 'Keluarga' dimaksudkan untuk menyindir pada Sephia yang bukan keluarga mereka.

"Dia akan segera jadi bagian keluarga kita!" jawab Liam sambil melengos acuh dengan perasaan sebal.

"Lo bener, karena dia akan menjadi istri gue." Musa berbisik pelan, namun ternyata terdengar oleh Nichole. Gadis itu lalu menginjak kaki suaminya sampai ia meringis, sebuah adab yang tak patut dibanggakan.

"Lo tuh kayaknya bakal gatal-gatal ya kalo gak berisik sehari aja!" Bisik Nichole mencibir.

Sampailah ketika Sephia hadir di tengah-tengah keluarga mereka, bertandang sebagai tamu dengan dress berlengan dan sopan. Ia duduk persis di samping Liam sekaligus di depan Musa, pun Nichole yang saat itu sudah mengetahui cerita diantara keduanya hanya diam berlagak polos.

"Apa kabar, Sephia?" sapa Arif sambil menunggu hidangan utama tiba.

Sephia menegakkan lehernya yang sedari tadi menunduk, "baik, Om. Terimakasih sudah mengundang saya ke makan malam internal ini."

"My pleasure, Sephia. Bagaimana perkembangan sekolah Raline? dia pasti nakal dan merepotkan, " tebak Arif dengan kekehan pelannya.

"Raline anak yang percaya diri, tapi terkadang terlalu percaya diri pun tidak bagus karena ia akan merendahkan orang lain di sekitarnya. Tapi ya begitulah anak-anak, Om."

"Dari kecil dia memang lebih sering diam di dalam rumah, jadi dia belum terbiasa memiliki banyak orang di sekitarnya," ujar Olivia menjawab.

"Iya, Tante. Saya mengerti betul, mangkanya peran guru di sekolah pun penting untuk mengajari cara beretika, bukan?"

"Iya, kamu benar," tunjuk Arif sambil mulai memakan hidangan makan malam mereka.

"saya juga sebagai orang tua sepertinya tidak banyak mengajarkan dia cara bersosialisasi," tambahnya.

"Tapi diluar dari semua itu, dia patut dipuji karena rajin dan aktif." Senyum itu tersungging menawan.

"Kamu ini memang guru yang bijaksana," puji Arif.

"Terimakasih."

"Sudah dulu bincang-bincangnya, dia harus makan." Liam mengambil berbagai hidangan diperuntukan untuk kekasihnya.

"Tadi kamu naik apa kesini, sayang?" tanya Liam sambil mengelap sendok dan garpu sebelum Sephia gunakan.

"Taxi online."

"Motor kamu rusak lagi?"

"Mungkin sudah terlalu tua," kekehnya bergurau.

Dan obrolan terhenti sampai disitu sebab salah satu table manner atau etika makan di keluarga mereka adalah tidak bersuara, kecuali jika mereka sedang memakan hidangan penutup.

Selama makan, Liam tak sengaja beberapa kali memergoki Kakaknya yang beradu tatap dengan Sephia. Mata yang semula sayu itu, mendadak berbinar bak bintang terselip di bola matanya. Ada rasa menggelitik ingin bertanya, namun Liam urungkan sebab tidak mau menghancurkan acara mereka.

"Bagaimana dengan penyerahan hak waris, sudah ditandatangani?" tanya Arif kemudian pada Musa ketika mereka sudah beralih pada makanan penutup.

Musa mengelap bibirnya dengan tisu seusai makan, "Papa jangan khawatirkan itu."

"Musa sudah tanda tangan kemarin, Pah." Nichole kali ini yang bersua.

"Syukurlah, kalian bebas sekarang."

"Maaf soal ekspektasimu, Tante. Sepertinya aku mematahkannya." Musa menyindir sambil bertumpang dagu tengil.

Olivia tersenyum ranum, "memang sudah semestinya aku tidak berekspektasi lebih soal warisan kamu dan Liam."

"Ya, baguslah."

"Kalo acara lamaran kalian, apakah mau dilanjutkan? Papa merasa tidak enak mengacaukannya." Arif secara sengaja menyulut emosi Musa yang semula sudah akan meninggalkan meja, namun terjeda oleh kalimat itu sebab penasaran apa yang akan mereka jawab.

"Sepertinya nanti saja, selama aku dan Sephia saling mencintai. Tak perlu ada yang ditakutkan untuk ke depannya," jawab Liam dengan tatapan menusuk pada Musa yang entah apa artinya.

"Yasudah, kalau butuh bantuan Papa. Kamu langsung bilang ya."

"Kami akan pulang duluan, aku akan mengantarkannya sampai rumah." Liam dan Sephia berpamitan.

Sepeninggal keduanya, Musa yang belum beranjak dari kursinya terlihat tenang dan menatap Ayahnya.

"Papa sengaja menanyakan itu agar aku emosi di depan Sephia?" senyuman yang menyungging sebelah  itu sepertinya membuat Arif sedikit ciut.

"Kamu selalu saja berpikiran kotor tentang Papa."

"Bisa gak, Papa menentang hubungan mereka?" tanya Musa.

"Apa alasan Papa menentang? lagi pula Papa melihat perubahan positif adik kamu semenjak mengenal Sephia."

Musa bangkit mencengkram punggung kursi itu seperti ingin melayangkan pada Papanya.

"Aku akan mengacaukannya!"

"Musa! ada Nichole disini!" Olivia mengingatkan sambil menatap kearah Nichole yang masih diam sejak tadi.

Musa melipat kedua tangan di dadanya, "dia sudah tahu semuanya."

"Apa maksud kamu dengan semuanya?"

"Iya, Pah-Ma. Aku tahu tentang hubungan Sephia dan Musa." Nichole merunduk segan.

"Maafkan Musa ya, Nak." Arif mendekati Nichole.

"Papa Kira kamu bisa mengetuk hatinya walaupun sedikit, Papa berharap kalian bisa menjadi suami dan istri sampai tua."

"Maaf sudah mengecewakan Papa, tapi aku benar-benar tak mempunyai alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Nichole menggenggam kedua tangan Arif.

"Tak apa, Nak."




Kisah Seusai Pisah  (BAGIAN II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang