Sembilan: Hilang

409 32 4
                                    

Jakarta, Indonesia

MASIH FLASHBACK - SATU TAHUN YANG LALU

PAGI - RUMAH LAMA DAMAR DAN IAN

Sesuai dengan pinta Damar kemarin malam, Aca kini telah berada di depan rumah kekasihnya. Ia datang terlebih dulu, sedangkan Naya masih bersiap-siap.

"Saya turun sini pak." Ucap Aca pada ojek online.

"Ini uangnya yaa pak, ngga usah kembalian." Lanjut Aca.

"Makasih ya mba." Ucap ojek online.

"Sama-sama pak." Ucap Aca.

Saat akan memencet bel rumah itu, ia melihat keadaan pagar rumah sudah terbuka.

"Tumben kok pagernya kebuka." Gumam Aca heran sambil memasuki area rumah dan berjalan menuju pintu masuk utama. Akan tetapi Aca semakin heran ketika melihat pintu utama juga telah terbuka.

Dari luar pintu terdengar samar suara gramofon memutar piringan hitam yang sedang memainkan lagu jaman dulu berjudul Air Mata - Ratna.

Namun sebaliknya hati duka lara~
Tak jemu menanti hamba~

Benda klasik Papa Jusuf itu sudah lama tak terdengar semenjak tiadanya sang pemilik. Lagu lama memang terkadang memberi kesan magis tersendiri bagi yang mendengarnya, menggema dengan alunan tenang namun terasa pilu.

Aca pun langsung memasuki rumah itu seperti biasa.

"Biasanya juga dikunci nih pintu perasaan. Assalamualaikum Damar.. Aca masuk yaa. Oiyaa, kenapa pager sama pintu dibiarin kebuk-" Belum menyelesaikan kalimatnya, Aca dibuat kaget bukan main melihat keadaan rumah tersebut beserta penghuninya.

Rumah dengan konsep open space tanpa sekat membuat siapapun yang memasuki pintu utama akan langsung disuguhi pemandangan ruang keluarga, dapur, dan meja makan. Dan kini dilihatnya kondisi di dalam rumah tersebut yang sudah porak-poranda.

Tubuh Aca seketika lemas, ia terpaku diam tanpa kata dan membungkam mulutnya sendiri. Setelah sejenak berdiri menahan tangis dan berusaha menepis kemungkinan buruk diangannya, ia pun segera berlari ke area meja makan untuk melihat dan memastikan keadaan para penghuni rumah yang masih terikat di kursi masing-masing.

Aca memakai sarung tangan medis yang selalu ia bawa sebagai antisipasi keadaan darurat medis. Aca pun mengecek keadaan Bi Siti, Pak Totok, Damar, dan Ian satu per satu. Ia merasakan denyut nadi dan hembusan nafas perorangan yang menunjukkan bahwa mereka masih hidup.

Namun saat mengecek Mama Dyah, Aca mendongakkan kepala beliau dan perasaannya semakin tidak karuan ketika melihat sayatan dileher ibu dari kekasihnya. Darah dari sayatan itu membasahi baju beliau. Dan benar saja, kulit beliau terasa sangat dingin, wajahnya pucat, dan tidak ada denyut nadi maupun hembusan nafasnya lagi. Aca tak kuasa menahan tangisnya, karena Mama Dyah yang telah dianggap sebagai ibu keduanya kini sudah tak bernyawa dihadapannya.

Kemudian Aca pun menelfon polisi dan ambulan untuk segera datang ke rumah tersebut dengan menahan tangisnya yang tak kunjung berhenti.

"Saya ngga tau apa yang sebenernya terjadi, tapi saya mohon untuk cepat datang kesini." Singkat Aca masih tersedu-sedu setelah menyebutkan identitasnya dan memberi alamat rumah kekasihnya.

Tak lama kemudian pihak-pihak yang dihubunginya mulai berdatangan. Polisi yang datang langsung melakukan olah TKP dan ambulance segera membawa kelima orang korban menuju rumah sakit untuk tindakan lebih lanjut.

PAGI - RS. BATIK

Sesampainya di rumah sakit tempat Aca bekerja, Aca pun menelfon Naya untuk datang ke rumah sakit.

LUKA LARUT MALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang