Distance - Eps. 35

972 95 3
                                    

Ruang rawat itu kini sudah dipenuhi dengan Isak tangis seseorang. Dua jam yang lalu putri bungsu pasangan Park Jiyong dan Han Yuri itu tersadar dari pingsannya.

Chaeyoung yang kala itu baru saja pulang sekolah dan mengganti pakaiannya mendapatkan kabar dari seorang maid jika adiknya itu jatuh pingsan dan sempat kehilangan detak jantungnya.

Hal itu membuatnya hampir saja menjatuhkan dirinya ke atas lantai dapur jika saja maid itu tidak menyanggah tubuhnya. Tanpa pikir panjang gadis itu menyambar kunci mobil yang biasa tergantung dan pergi dari sana.

"Uljima, nan gwaenchanha." Sudah setengah jam gadis berponi itu menenangkan sang kakak.

"Kau bilang, kau baik-baik saja? Kami bahkan hampir kehilangan dirimu jika saja Jennie Unnie tidak menemukan mu saat itu!" Jawabnya dengan suara ketus disela-sela tangisnya.

Lisa tersenyum dan merentangkan tangannya ketika melihat Chaeyoung yang semakin manangis karenanya.

"Aigoo, sini ku peluk."

Melihat kedua adiknya berpelukan. Keduanya pun tidak ingin kalah, mereka mendekati ranjang Lisa dan bergabung dalam suasana hangat itu.

"Tuhan, tolong buat mereka selalu bahagia."
.........

"Eomma, tolong bantu Jennie mengerjakan tugas matematika. Jennie tidak mengerti."

"Mianhae, Sayang. Eomma tidak bisa membantu mu. Karena adik Lisa sedang sakit."

"Eomma, tolong ikat rambut Jennie seperti rambut Chaeyoung."

"Mianhae, Sayang. Eomma harus membuatkan makanan untuk adik Lisa."

"Lisa, Lisa, Lisa. Selalu saja Lisa yang Eomma utamakan! Apakah putri Eomma hanya Lisa? Eomma selalu mengutamakan Lisa dibanding aku dan kedua saudariku yang lainnya!"

Saat itu, Jennie kecil belum mengerti situasinya. Yang Jennie inginkan hanyalah perhatian sang ibu. Namun, nyatanya Yuri tidak bisa. Karena ia harus mengurus Lisa kecil yang selalu jatuh sakit.

Ke-fokusan Yuri terhadap Lisa kala itu menimbulkan rasa kebencian dalam diri Jennie tumbuh perlahan. Dan berakhir dengan ia yang berbicara pada kakak serta adiknya jika ibu mereka tidak lagi peduli terhadap mereka. Ibunya itu hanya memperdulikan adik bungsu mereka dibandingkan dengan mereka.

Gadis berpipi mandu itu tertawa hambar kala mengingat kembali kejadian dimasa kecilnya. Seharusnya ia mengerti dengan situasi itu. Tapi karena haus akan perhatian sang ibu, rasa benci pun hinggap didalam hatinya.

Tawa itu kini berganti dengan sebuah tangisan. Air mata nya kini mengalir begitu saja mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Selama hidupnya, Jennie tak pernah membayangkan akan ada diposisi seperti saat ini. Ia tidak menduga jika hal berat akan menimpa keluarganya.

Ia tidak menyangka jika salah satu saudarinya mengidap penyakit yang mematikan. Apakah ini hukuman dari Tuhan untuknya karena sudah terlalu menyakiti adiknya?

"Apa aku boleh duduk disini, Nona?" Gadis asing itu mendudukkan dirinya walaupun tidak mendapatkan jawaban dari Jennie.

Sudah dua jam lamanya ia memperhatikan Jennie yang terus tertawa dan menangis tiba-tiba. Awalnya ia mengira jika Jennie tidak waras. Tapi setelah memperhatikannya lebih lama ia mengerti.

"Nona, menangis tidak akan menyelesaikan masalah." Kalimat itu mampu membuat tangis Jennie terhenti.

"Orang lain tidak akan pernah tahu perasaan kita sebelum ia mengalaminya sendiri."

"Kau benar. Orang lain tidak akan tahu sebelum ia merasakannya."

"Aku... Apa aku boleh menceritakan kisahku?" Jennie mengusap airmata nya dan menatap gadis yang ada disampingnya.

"Eoh."

"Kau tau, dulu aku sangat membenci adikku."

"Aku membencinya dengan suatu alasan. Aku sangat membencinya, karena ku pikir dia lah penyebab kematian ibu kami."

Jennie pikir, kisah dirinya lah yang paling menyedihkan. Ternyata ada orang lain yang lebih menyedihkan daripada dirinya.

"Aku selalu menyalahkan adikku karena semenjak dia lahir, aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu lagi. Tapi ayahku selalu memberitahuku jika itu bukanlah salahnya. Itu sudah takdir yang Tuhan berikan."

"Appa selalu bicara padaku untuk tidak terus bersikap seperti itu, sebelum hal tidak diinginkan menghampiri ku. Aku tidak pernah mendengarkan ucapan ataupun nasehat yang Appa berikan."

Gadis itu dengan perasaan menyesal menceritakan semua kisah hidupnya kepada gadis yang sedari tadi ia perhatikan itu. Dengan perasaan campur aduk, ia melanjutkan ceritanya.

"Saat hari dimana aku mulai menyayanginya, tidak lama adikku divonis memiliki penyakit yang mematikan." Melihat gadis disampingnya menundukkan kepalanya. Jennie dengan cepat merapatkan tubuhnya dan memeluk gadis itu.

Jennie tahu bagaimana rasanya. Karena mungkin kisahnya dengan gadis yang ia dekap saat ini tidak jauh berbeda.

"Kau... Bukankah nasib kita sama? Hanya saja yang membedakan adalah kasta."

"Darimana kau tahu? Aku bahkan tidak menceritakan kisahku padamu." Jennie mengerutkan keningnya bingung. Tentu saja ia bingung, karena ia tidak menceritakan apapun pada gadis disampingnya.

"Orang tuamu orang terpandang di Korea Selatan. Manusia mana yang tidak mengenal mereka berdua? Bahkan, yang merawat adikku dulu adalah ibumu. Dokter Han."
......

Setelah perbincangannya dengan gadis tadi ditaman rumah sakit. Sebuah kalimat selalu mengusik diperdengarannya. Namun ia berusaha mengabaikan nya sebisa mungkin.

"Unnie, kau darimana saja?" Suara Lisa mampu membuyarkan lamunannya. Apakah dirinya terlalu lama ditaman, sehingga adiknya itu menanyakan hal itu?

"Unnie habis dari cafetaria. Mendadak perut Unnie sakit karena belum memakan apapun."

"Kau sudah meminum obat?" Jennie mengangguk setelah mendapat pertanyaan dari kakaknya.

Sebenarnya bisa saja gadis berpipi mandu itu berkata jujur, namun jika ia memberitahu adik serta kakaknya itu. Pasti mereka akan bertanya, Jennie hanya menghindari itu saja.

Karena jujur, suasana hatinya saat ini sedang tidak baik. Ia takut jika nantinya akan membentak atau berbicara buruk kepada salah satu dari mereka.

Menyadari jika ada yang kurang, gadis berpipi mandu itu menatap ke sekeliling ruang rawat sang adik. Benar. Disana tidak ada kedua orang tua mereka. Seingatnya Jiyong dan Yuri tadi ada disana. Tapi baru beberapa saat ia pergi kedua nya sudah tidak ada.

"Appa dan Eomma.. kemana mereka?"

"Keduanya menemui dokter Choi. Mereka bilang ada yang harus mereka bicarakan mengenai kondisi Lisa." Jennie memilih mengangguk saja dan mendekatkan dirinya ke arah adiknya itu terbaring.

Memilih duduk dikursi yang sudah disediakan dipinggir ranjang, lalu menatap wajah itu lekat sambil mengusap lembut tangan berbalut infus. Lisa yang melihat itu tersenyum dan membiarkan apapun yang Jennie ingin lakukan.

Raut wajah kakak keduanya itu tampak seperti banyak beban yang ia pikirkan. Walaupun Jennie tidak berbicara dan memberitahunya, tapi lewat dari tatapan mata itu Lisa bisa mengetahui segalanya.

"Kau... Tidak akan pernah meninggalkan kami kan, Lisa-ya?"

Tasikmalaya, 17 February 2024.

Note.

Met membaca buat para jomblo yang dirumah.

Gess kritik saran nya dong buat cerita aku ini. Biar aku semangat lanjutin ni cerita:)

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang