30) Arkan dan ... Raniya

12 1 0
                                    

Drtt..

Anna menghela napas kasar, mematikan panggilan yang sudah berkali-kali tidak terjawab. Tatapannya bertemu dengan mata Aira yang tengah tersenyum tipis--- tampak kecewa.

Anna mengambil ponselnya, "Bunda coba telpon Zaid aja deh, pasti dia tahu Arkan di mana dan sedang apa."

Aira menurut saja. Mendengar suara ponsel itu hingga panggilan suara itu terhubung.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Zaid."

["Wa'alaikumssalam warahmatullahi wabarakatuh, Bunda. Ada yang perlu dibantu, Bunda?" Suara Zaid menyapa di sebrang sana.]

"Bunda dari tadi telponin Arkan, tapi nggak diangkat. Sekarang dia di mana? Kalau di sana bilang kalau Bunda sama Aira nungguin, jangan lupa baca chat Bunda."

["Oh, begitu, Bunda. Tapi beberapa jam lalu Arkan udah pergi dari kantor, pamitnya mau ke tahfidz untuk persiapan nanti malam?"]

"Oke, terima kasih infonya, Nak Zaid. Maaf, Bunda ganggu waktunya, ya."

["Sama-sama, Bunda. Alhamdulillah, sekarang Zaid lagi santai juga kok, nggak mengganggu sama sekali." Jawabnya, terkekeh kecil.]

Setelah itu Anna menutup telpon dengan salam.

"Gimana, Bunda?" Tanya Aira.

"Katanya Arkan udah di tahfidz," jawab Anna, "ayo, kita langsung susulin ke sana!"

⁄⁠(⁠⁄⁠ ⁠⁄⁠•⁠⁄⁠-⁠⁄⁠•⁠⁄⁠ ⁠⁄⁠)⁠⁄

Sampai di rumah tahfidz yang sekaligus adalah rumah mertuanya, hal pertama yang menyambut kedatangan mereka adalah anak-anak tahfidz yang sedang berlatih ditemani Ibrahim dan beberapa ustadz/ustadzah lainnya. Sebaliknya, kedatangan Anna dan Aira membuat mereka cukup terkejut.

"Masya Allah, Ahlan Wa Sahlan, Nak Aira!"

"Ahlan Wa Sahlan, istrinya Ustadz Arkan yang cantik!"

"Ahlan Wa Sahlan, Ustadzah Aira!"

Aira menoleh pada Anna, mengernyitkan dahinya. Anna yang paham jika Aira tidak mengerti arti dari kalimat itu pun terkekeh kecil, lalu berbisik, "Ahlan Wa Sahlan itu artinya selamat datang, Nak. Maka kamu bisa jawab, Ahlan bik."

"Ahlan Bik, Abah, Ustadz, Ustadzah, dan adik-adik!" Aira tersenyum, merasa hangat dengan sambutan yang ada, "Oh iya, panggil kakak aja, ya? Kakak bukan ustadzah." Aira terkekeh kecil.

"Masya Allah, bener kata Ustadz Arkan tadi, kakak ustadzah cantik banget!"

Aira mengerjapkan matanya, tersipu mendengar jika Arkan sempat memujinya di depan anak-anak ini. Bibirnya tak sadar naik, "Terima kasih." Aira mengusap kepala anak itu, "Oh iya, sekarang ustadz Arkannya di mana?"

"Eum, tadi memang ada, kak. Ustadz juga sempat ngajarin Anya dan temen-temen latihan. Tapi, nggak lama tadi baru aja pamit ke kantor."

"Kantor?" Ibrahim mengernyitkan dahinya, kemudian bergeleng, "Abah dari tadi di kantor nggak ketemu Arkan sama sekali. Emang Arkan di sini?"

"Iya, Ustadz. Ustadz Arkan ada di sini, tadi sempat nyapa saya seperti biasa begitu datang. Kira-kira 2 jam yang lalu, belum ada keluar lagi. Terus 1 jam yang lalu Ustadzah Raniya yang datang."

"Oh iya, tadi Afan liat Ustadz sama Ustadzah Niya di belakang asrama ustadzah dekat gudang!"

"Kenapa Raniya terus? Sekarang ada apalagi?" Batin Aira. Jujur, perasaan Aira sudah tidak enak, selalu tidak enak bahkan ketika mendengar nama Raniya. Tapi sekarang lebih buruk, seakan ada hal buruk yang akan datang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hai Kanaira (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang