26) Di balik gamis

46 8 0
                                    

Bagaimana cara Aira percaya, saat berkali-kali tidak ada protes dan kejujuran dari Arkan untuk membela dirinya? Bahkan Arkan seolah memberi jalan untuk luka hebat yang suatu saat akan datang.

Subuh-subuh ini Aira sudah digeluti awan kelabu dengan gemuruh kecil mengiringnya. Bagaimana tidak? Suguhan paginya adalah melihat Arkan pergi dengan mobilnya, berpamitan hanya melalui chat.

From Arkan :
{Assalamualaikum, Humairaa
{Selamat pagii
{Kalau udah bangun, langsung cuci muka dan sholat subuh, yaa
{Maaf, aku harus pergi subuh-subuh begini dan cuma pamit lewat chat,
{Nanti jangan lupa sarapan sebelum pergi kelas

Di sana titik awal kerenggangan mereka. Semakin jauh dan tinggi dinding pemisah di antara mereka. Dan sebaliknya, Arkan semakin dekat dengan Raniya dan Alfa.

"Humaira, mau ke mana?" Arkan mencekal lengan Aira yang hendak pergi, sementara ponsel masih menempel di telinganya.

"Kampus. Sibuk sama Raniya kan?" Jawab Aira dengan ketus.

"Aku anterin kamu, ya." Ucap Arkan, "--y-ya, Ran? A --- Humaira!"

Aira sudah berlari ke arah taksi tiba di hadapannya. Arkan menyusul, masih dengan ponsel di telinganya--- yang menandakan bahwa ponsel Arkan masih dengan Raniya ---sementara sebelah tangannya berhasil kembali mencekal lengan Aira.

"Humaira, kamu kenapa sih? Aku bisa anterin kamu dulu sebelum kerja."

Aira mengulum bibirnya dengan mata yang berkaca-kaca, "Aku? Kenapa?" Aira tersenyum kecut, "Urusin aja orang yang jadi prioritas kamu. Aku bukan apa-apa." Dalam satu tarikan yang cukup kuat Aira berhasil melepaskan tangannya dan masuk taksi.

"Jalan, Pak!"

Taksi melaju, semakin jauh. Yang di sisa-sisa jarak pandangnya, Aira melihat Arkan yang melihat Arkan masuk ke mobil dengan buru-buru. Bukan untuk mengejar taksi yang ditumpangi Aira, melainkan ke arah yang berbeda--- siapa lagi yang Arkan temui selain Raniya dan putra kesayangannya?

Aira tahu semuanya, tapi Aira tidak bisa mengeluarkan barang sepatah kata pun untuk langsung mengatakan rahasia Arkan yang ia ketahui. Sedangkan setiap ruang dan waktu, tak absen Raniya mengirim foto-foto kebersamaan mereka dan Arkan. Terlihat bahagia. Sangat amat bahagia tanpa memikirkan hati Aira yang kian terluka.

Siapa istri yang tidak kecewa dan sakit hati dibohongi seperti ini? Arkan tidak pernah jujur dan terbuka sejak awal tentang kehidupan sebelumnya, dan sekarang Arkan pergi tanpa alasan yang jelas. Meminta Aira menunggu, tapi sampai kapan? Apa sampai Aira tak bisa bernapas lagi saking sesaknya?

Iya, Aira tahu apa yang Arkan lakukan tidak salah karena bertanggung jawab atas anaknya yang sakit, tapi apa Arkan tidak bisa jujur saja pada Aira?

Setidaknya Aira tidak akan merasa sesakit ini jika Arkan sudah jujur dari awal, atau setidaknya lebih dulu daripada Aira mendengar kebenaran itu dari orang lain.

Aira pergi ke kampus dengan niatnya yang fokus belajar dan melepaskan pikiran-pikiran kacaunya. Dan hal itu hanya menjadi sebuah niat dan keinginan yang gagal. Tak jarang Aira begitu pendiam dan menyendiri selama di kampus; hal itu membuat pikiran-pikiran yang seharusnya Aira hindari malah berdatangan mengisi kepalanya.

Qeela? Gadis itu yang biasanya akan bawel menanyakan hal-hal yang mengganjal pada Aira kini sudah sibuk sejak menjabat sebagai sekretaris HIMA, lebih sibuk dan lebih sering berkumpul dengan anak-anak HIMA lainnya, dan semakin susah ditemui lagi karena ketua organisasinya adalah pacarnya sendiri.

Tapi, dibalik itu Aira merasa Qeela memang sengaja menjauhinya; bahkan ya, untuk menatap Aira saja Qeela tampak enggan. Aira menyadari hal terkecil itu. Entahlah, mungkin hanya perasaan Aira saja.

Hai Kanaira (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang