Setan kepala puntung. Kepala tanpa wajah. Hantu perempuan dengan rambut menjulang dan bola mata hitam. Ular. Buaya. Zombi. Apa lagi yang sekiranya bisa membuat seseorang gemetar ketakutan, sampai tangan dan kaki dingin?
Harus ke warung untuk membeli sesuatu jawabannya, kalau yang ditanya Hanasta.
Sore ini, demi kelangsungan hidupnya, Hanasta harus berani bergerak dari kamar, meninggalkan rumah, untuk pergi ke warung yang jaraknya lima menit dengan jalan kaki.
Beras habis. Telur juga. Hanya ada ia di rumah sejak kemarin, Hanas harus memberanikan diri, nekat terjun sendiri untuk membeli beberapa bahan makanan. Kalau tidak, ia bisa tiada.
Berangkat dari rumah dengan mengenakan jaket, Hanas menaikkan tudung ke kepala ketika melihat warung yang dituju sudah dekat. Wajahnya yang memang pucat karena jarang terkena sinar matahari tampak makin pias.
Jantungnya berdentam kencang, sampai perut terasa mulas. Langkah Hanas memelan, sempat ragu dan ingin kembali pulang saja usai ia tiba di depan warung tadi. Namun, mengingat kalau nanti malam sudah tak akan apa-apa yang bisa dimakan, Hanas terpaksa meneguhkan tekad.
Masuk ke dalam warung, Hanasta tak menemukan si pemilik ada di balik etalase berukuran setinggi pinggang tempat menyimpan beberapa barang. Menengok kiri dan kanan, gadis itu menggigit bibir resah.
Tambah satu lagi masalah hidupnya. Harus memanggil si pemilik warung, yang sepertinya ada di dalam rumah.
Menyimpan kedua tangan ke saku jaket, Hanas menarik napas. "Be-li," panggilnya pelan.
Gadis itu mengintip ke pintu yang menghubungkan warung dan rumah di belakangnya. Tak ada orang yang datang dari sana. Apa suaranya kurang keras? Atau suaranya jelek sekali sampai-sampai si pemilik warung kesal dan tak mau meladeni?
Tangan Hanas di saku jaket mengepal. "Be--li!" Kali ini ia memanggil sampai urat di leher kelihatan. Terserahlah kalau suaranya terdengar jelek. Ini pertaruhan hidup dan mati.
Usahanya masih saja berakhir nihil hasil. Belum membuahkan balasan, si penjaga warung belum muncul. Hanas mulai makin resah.
Apa ia pulang saja? Atau cari warung lain? Namun, warung lain jaraknya lebih jauh lagi. Hanasta tidak mau mengambil risiko bisa bertemu lebih banyak orang.
Percobaan terakhir, Hanasta memanggil lagi. Kali ini dengan suara lebih kencang.
"Bee--lii!"
Ada suara derap langkah. Tak lama, seorang wanita seumuran ibunya muncul. Hanasta diberi senyum ramah, si gadis malah makin berdebar.
Kakinya melangkah mendekat ke etalase. Menghindari tatapan mata ibu si pemilik warung, Hanasta berkata, "Mau beli, Buk."
"Beli apa?" tanya wanita itu ramah seraya mengamati Hanasta lamat-lamat. Ia merasa asing dengan pelanggannya ini. Rasanya belum pernah dilihat sebelumnya.
"Beras dua kilo." Hanasta mulai menyebutkan barang-barang yang ia perlu.
Masih tanpa menatap lawan bicara. Gadis itu hanya melarikan pandangan ke etalase, kiri, kanan, lalu terakhir ke ujung kaki, ketika si pemilik warung menyiapkan barang-barang yang ia sebut.
"Sebentar dihitung dulu belanjaannya."
Hanasta mengangguk saja. Ia menengok ke belakang. Berharap tak ada pelanggan lain yang datang sampai ia selesai berbelanja.
Bukan apa-apa, Hanasta hanya malas jika bertemu orang lain. Warung ini yang paling dekat yang ada di gang ini. Hampir semua tetangganya juga belanja ke sini. Keadaan bisa sulit kalau sampai ada tetangganya yang datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...