"Bang! Kamu baru nyampek, udah mau pergi?"
Protes Janari terdengar nyaring. Ia tak rela pertemuan yang sudah ditunggu-tunggu ini berakhir begitu cepat. Belum ada lima menit Ridwan tiba, dan sekarang pria itu bilang akan pergi?
Janari menyusul Ridwan yang sudah di teras kamar kos. Ia tahan lengan si lelaki agar tidak pergi.
"Bang! Kamu baru datang, loh?"
Ridwan menepis tangan Janari. "Aku harus pulang. Tadi aku udah bilang gak sempat singgah."
Pria itu sudah akan balik badan dan pergi, gegas Janari menarik lebih kuat. Ia berdiri di depan Ridwan, mengadang langkahnya.
"Kemarin kamu juga begini, Bang! Cuma datang sebentar, terus pergi." Janari menyuarakan kekesalan. "Sebenarnya kamu sadar nggak udah nggak adil sama aku?"
Ridwan menghela napas. "Tolong, ya. Jangan cari ribut dulu. Aku capek, udah dua hari kurang tidur. Ka--"
"Gara-gara siapa kamu kurang tidur?!" Perempuan itu menjerit murka. Wajahnya memerah. "Aku tanya, gara-gara siapa kamu kurang tidur? Istrimu itu, 'kan?"
Dua hari belakangan tidak mengabari, Janari bertanya Ridwan sedang sibuk apa. Lelaki itu menjawab tengah repot mengurusi Hanasta yang habis jatuh. Berani sekali pria itu memakai alasan istrinya untuk menghindari Janari?
"Nggak ada yang suruh kamu repot ngurus dia, Bang!"
Ridwan menaikkan alis tajam.
"Memang kenapa kalau kakinya bengkak, patah sekalian? Bukan urusanmu ngantar dia ke kamar mandi dan bawa dia ke dokter atau tukang urut!"
Napas perempuan itu berkejaran. Ia sungguh sudah di ambang batas sabar.
"Sebenarnya, kamu masih ingin bersamaku atau nggak, Bang? Kenapa aku merasa kamu selalu lebih mementingkan perempuan itu daripada aku?" Janari tampak mengiba. Ia ingin Ridwan tahu kalau ia sedang bersedih.
Namun, alih-alih menyesal atau minta maaf, Janari malah melihat Ridwan tersenyum sinis. Pria itu menghempas tangannya, kemudian mengambil langkah mundur.
"Kau lupa lagi hubungan kita ini apa? Kenapa kau nuntut hak?"
Janari membisu dengan kemarahan menggelegak. Ia bisa lihat tatapan tak peduli Ridwan. Sikap pria itu sekarang seolah membenarkan perkataan Santi beberapa waktu lalu.
"Aku gak mau ribut." Lelaki itu berjalan menghampiri motor. "Aku mau pulang. Mamak mau pergi, Hanasta gak ada kawan di rumah. Dia masih harus dipapah ke kamar mandi."
Ridwan berhenti di samping motor. Ia berbalik. "Dan perlu kau ingat. Kenapa aku harus ikut repot ngurus si Hanasta? Satu, karena aku yang buat dia jatuh sampai lutut dan pergelangan kakinya bengkak. Dua, kalau aku gak urus dia, Mamak akan marah dan tendang aku dari rumah. Tiga ...."
Pria itu mengambil jeda, tatapannya menerawang seolah menimbang, sebelum akhirnya berkata, "Kayak yang kau bilang tadi. Secara status, dia istriku. Apa kata orang kalau aku menelantarkan istri untuk berduaan dengan kau di sini?"
Dengan tenang Ridwan naik ke motor. "Juga, apa kau gak bosan? Kadang, aku juga bosan berduaan sama kau." Ia nyalakan mesin. "Sekali-kali, kita butuh waktu untuk menjauh, biar gak bosan kali."
Ditinggalkan begitu saja. Perasaannya diabaikan bak angin lalu. Janari hanya mampu tersenyum getir.
Bosan? Bosan kata Ridwan? Setelah dua tahun mereka melalui romansa yang menyenangkan, tiba-tiba lelaki itu bosan? Cuma karena baru punya istri beberapa bulan? Janari kalah dengan perempuan miskin, tidak cantik dan aneh itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...