Ridwan sedang memasak sewaktu Hanasta datang ke dapur. Perempuan itu melirik-lirik beberapa saat, sampai akhirnya memberanikan diri berdeham.
Lelaki di belakang kompor menengok.
"Kenapa kau? TBC?" Dia tertawa mengejek.
Hanasta berusaha sabar, tidak menimpali. Ia duduk di kursi makan.
"Ngapain kau di sini? Gak mengeram di kamar?" sindir si suami tanpa sungkan.
Kali itu Hanasta tak berhasil menahan emosi. Ia memajukan bibir, matanya berkilat kesal.
"Katamu mau bantuin aku dapat uang."
Mengaduk sebentar masakan di wajan, Ridwan berbalik. Ditatapnya Hanasta sembari mengingat apa yang diungkit perempuan itu barusan.
"Yang waktu itu. Kau bilang mau bantuin aku dapat uang. Caranya gimana?"
Hanasta mungkin terlihat naif dengan membicarakan ini. Namun, perempuan itu sudah kelewat putus asa. Pendapatannya dari menulis bahkan tidak sampai seratus ribu bulan ini.
Entah apa yang salah. Mungkin, tulisan Hanasta tidak sebagus itu, hingga tidak banyak disukai orang. Kalau terus begini, kapan hidupnya bisa berubah?
Karena itu, ia nekat menagih janji Ridwan.
Di depan sana, Ridwan tampak menjentikkan jari. Sepertinya baru ingat.
"Butuh uang kau?" tanya pria itu dengan tatapan penuh ejekan.
Berusaha sabar, Hanasta mengangguk saja.
"Nulis gak menjanjikan, ya?" Senyum mencela pria itu lebar sekali. "Mana pulak ada orang yang mau beli cerpen. Bagus uangnya beli beras."
Hanasta menunduk, meremasi jemari sendiri dengan perasaan sedih. Ia sudah sangat ingin pergi ke kamar karena hinaan itu. Namun, sekarang itu bukan pilihan.
Ia harus melakukan sesuatu kalau mau hidup berubah. Siapa tahu cara yang nantinya Ridwan beritahu bisa jadi batu loncatan. Siapa tahu Hanasta jadi kaya mendadak dan bisa mengurus pembatalan pernikahan mereka, misalnya?
"Kerja apa kayak begitu? Seharian cuma pegang hape sama rebahan. Yang ada kena gula kau karena gak banyak gerak."
Si perempuan membisu. Kepalanya makin tertunduk.
Ridwan terdengar berdeham beberapa kali. "Nangis kau, Hanasta?"
Buru-buru Hanasta menaikkan wajah. Ia menggeleng meyakinkan.
Ridwan mematikan kompor, sebelum ikut duduk di kursi makan. Pria itu menatapi Hanasta beberapa saat, sambil mengusapi dagu, menimbang.
"Kan nasabahku banyak. Sekarang itu aku ngutip jadinya kelang sehari, karena gantian tempat. Mau kau bantuin aku ngutip? Nanti kukasih nasabah yang dekat. Gajimu lima puluh ribu, sehari. Kerjanya dari jam sebelas, sampai jam lima."
Hanasta menatapi pinggiran meja dengan alis berkerut. Ia menggigit ibu jari. Gajinya jelas lumayan. Lima puluh ribu sehari.
"Lima puluh, bersih?" tanya gadis itu memastikan.
"Bersih. Makan, bensin, aku yang tanggung. Nanti aku ajari, seminggu aku kawani, gak langsung kulepas sendirian."
Mata Hanasta berkedip makin cepat. Menggiurkan. Kerjanya juga tak sampai sehari penuh. Lima puluh kali tiga puluh, satu juta setengah.
"Aku cuma nagih aja, 'kan?"
Ridwan mengangguk. Namun, pria itu meringis. "Bisa gak pas ngomong kau lihat orangnya?" protesnya.
"Nanti kalau aku dimaki?" Belum apa-apa Hanasta sudah mulas.
"Nanti kukasih nasabah yang baik-baik. Biar kau gak perlu ribut."

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...