Bab 26

1.7K 154 10
                                    

"Hanasta!"

Pukul sembilan malam. Ridwan tampak menggedor pagar rumah dari luar. Dari tadi dia tak berhenti memanggil nama si istri.

Tidak jadi pulang nanti malam, Ridwan nekat pulang sore tadi. Sepanjang bersama Janari, ia gusar setengah mati. Jadi, daripada semakin membuat si pacar kesal, Ridwan putuskan untuk pulang saja.

Ia sudah sampai sejak sepuluh menit lalu. Pagar rumah tertutup. Ia sudah panggil-panggil Hanasta sejak tadi, tetapi gadis itu tak kunjung muncul.

Ke mana perempuan itu? Ponsel yang mati membuat Ridwan tak bisa menghubungi Hanasta atau Dewi. Makin cemas pria itu membayangkan kalau sudah terjadi sesuatu yang buruk selama ia pergi.

Hanasta kelaparan lagi? Atau perempuan itu jatuh di kamar mandi lagi? Sakit lagi, atau ada maling yang menyatroni rumah mereka?

"Hanasta!"

Sekali lagi Ridwan memanggil dengan suara kencang. Pintu rumah di sana masih juga tidak terbuka. Ia makin panik.

"Oi!"

Ridwan menoleh ke belakang. Orang yang sejak tadi dia panggil-panggil malah baru datang. Jadi, rumah kosong?

Hanasta berjalan mendekat dengan tatapan bingung, Ridwan mengamati gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hanasta mengenakan jaket, apa baru dari suatu tempat?

"Dari mana kau?" tanya Ridwan usai mereka berdiri berhadapan.

"Warung," jawab Hanasta sambil menjauhkan pasta coklat dari mulut.  

Perempuan itu merogoh saku, diambilnya kunci pagar dari sana. Ridwan langsung mengambilnya, membuka pagar.

"Belanja apa? Makanan di kulkas habis?"

Ridwan mendorong pagar dan mempersilakan Hanasta masuk duluan.

"Pembalut. Sama jajan." Hanasta menunggu Ridwan mengunci pagar.

"Duluan aja. Sana masuk."

Hanasta mengerjap heran. "Kereta mana? Kok kau udah pulang? Katanya pulang besok pagi?"

Mereka berjalan ke arah pintu, Ridwan membuang wajah saat Hanasta menajamkan mata karena melihatnya melangkah pincang.

"Kaki kau kenapa?" Pertanyaan itu Hanasta suarakan saat mereka sudah di dalam rumah.

Ridwan duduk di lantai ruang tengah. Pria itu terdengar mengembuskan napas kasar. Meluruskan kedua kakinya sambil meringis.

"Kereta di bengkel. Tadi jatuh, licin jalan. Hujan."

Hanasta ikut duduk di atas ambal. Perempuan itu mengangguk, tatapan matanya menyelidik untuk beberapa saat.  
"Kakimu aja yang luka?"

Ridwan melepas jaket. Ia tunjukkan siku yang ditempeli plester kecil. "Hapeku mati, gak bisa hidup."

Saling diam, Ridwan tak berhenti menatapi Hanasta yang malah memandangi ambal. Pria itu akhirnya lega karena bisa mendapati si perempuan utuh, setelah ia tinggal satu hari.

"Udah makan kau?"

Hanasta mengangguk.

"Bahan di kulkas udah habis?"

"Belum. Aku cuma masak sekali," jelas perempuan itu.

"Rumah aman, 'kan? Gak ada maling?"

Si gadis melirik terkejut beberapa detik. "Memang pernah ada maling di sini?"

Ridwan mengiyakan lewat anggukkan. "Pernah satu kali kemalingan. Waktu itu halaman di belakang masih jadi tempat jemur kopi. Ada mesin juga di sana. Mesinnya hilang diambil maling."

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang