Hanasta butuh pembalut. Lupa menyiapkan stok di rumah, sore ini si perempuan terpaksa kembali keluar dari sarang. Pergi ke warung untuk membeli perlengkapan.
Mulanya semua berjalan baik. Meski masih saja merasa gugup dan tidak nyaman, tetapi Hanasta bisa mengendalikan itu. Ia tiba dengan selamat di warung yang dituju.
Memang, ada dua orang pelanggan lain di sana saat ia tiba. Namun, sepertinya mereka lebih sibuk mengobrol daripada belanja. Hanasta jadi bisa curi start.
Usai menyebut barang-barang yang ingin dibeli, Hanasta butuh menunggu agar si ibu pemilik warung bisa menyiapkan. Di jeda waktu menunggu itulah mimpi buruknya Hanasta datang.
Ia sudah sengaja sok melihat ke arah kiri warung, sebab dua orang wanita yang datang sebelum dia ada di sisi kanan. Namun, tampaknya mereka masih bisa mengenali Hanasta.
"Itu anaknya Pak Tio yang mau nikah sama Bang Ridwan, 'kan?" Satu dari dua perempuan itu bicara dengan nada berbisik, tetapi masih bisa didengar Hanasta.
"Iya. Masih muda kayaknya. Kok mau sama duda, ya?"
"Uangnya Bang Ridwan, kan, banyak. Jelaslah dia mau. Apalagi, katanya bapak dia sempat punya utang sama Bang Ridwan."
"Oh, pantas. Udahlah. Memang ngincar uang. Padahal, kelihatanya pendiam."
Hanasta langsung menoleh ke arah etalase kala suara ibu si pemilik warung terdengar. Wanita itu memberikan kantungan plastik berisi barang-barang yang ia perlukan. Hanasta memberikan uang.
"Katanya, sebentar lagi mau nikah, ya?" tanya si ibu pemilik warung.
Hanasta menurunkan pandang, kemudian mengangguk enggan.
"Jangan lupa undangannya sampai ke ibuk, ya."
Membalas senyum semringah wanita itu, Hanasta merutuk dalam hati. Ini sebuah ironi. Orang lain tampak senang dengan berita pernikahannya, sementara dirinya berharap itu tidak terjadi.
Meninggalkan warung, Hanasta berjalan cepat. Perempuan itu menunduk, raut wajahnya tampak mendung. Menikah atau tidak, kenapa semuanya seolah terasa salah?
Dulu, ayahnya marah karena ia memutuskan untuk tidak akan menikah. Katanya, itu aib. Mencoreng nama keluarga. Sekarang, saat Hanasta setuju untuk menikah, itupun dinilai tidak benar.
Benar, akar pernikahan ini memang tidak murni. Seperti yang dibicarakan ibu-ibu di warung tadi. Ada pertukaran di sini. Hanasta terpaksa menikah dengan Ridwan, demi melunasi utang. Namun, digunjingkan seperti tadi tetap saja membuat Hanasta berkecil hati.
Melangkah terburu, Hanasta tersandung undakan di jalan. Padahal, gadis itu sudah menunduk. Mungkin karena pikirannya ke mana-mana, jadinya tidak fokus.
Tersandung, tetapi Hanasta tidak sampai jatuh. Saat akan kembali melangkah, perempuan itu terkejut kala sebuah sepeda motor mengadang jalannya. Ia menengok untuk memeriksa, ternyata itu Ridwan.
Mereka bertatapan sejenak. Hanasta adalah orang yang duluan memalingkan wajah. Perempuan itu gegas berjalan pergi.
"Naik," kata Ridwan ketika kembali mengadang langkah Hanasta. "Mamak suruh kau ke rumah," jelasnya dengan mimik malas.
Hanasta membetulkan tudung jaketnya yang bergeser terkena embusan angin. Perempuan itu mengangguk tanpa menoleh. "Nanti aku datang."
Lanjut melangkah, Hanasta berlari menuju rumah. Sungguh, perasaannya makin tidak enak. Sudah habis dibicarakan orang, barusan masih harus bertemu si sumber masalah. Rasanya, Hanasta ingin lari saja sampai ke ujung bumi, melarikan diri dari semua ini.
***
Kemarin berangkat berdua untuk membeli baju pernikahan. Hanasta kira, itu adalah terakhir kali ia pergi dengan Ridwan. Namun, hari ini mereka harus melakukan sesuatu berdua lagi.
Memesan undangan pernikahan dan membeli cincin. Hanasta sudah sarankan untuk memesan undangan lewat online saja. Urusan cincin, kan Ridwan bisa diberi tahu ukuran, agar pria itu beli sendiri. Namun, semua itu ditolak.
"Kau memang harus pakai jaket terus?"
Sudah memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak ia sukai, Hanasta masih juga harus mendengar protes seperti itu dari Ridwan. Sudah siang itu terik sekali, Hanasta dibuat makin panas dengan gerutuan tak beralasan calon suaminya.
Si perempuan tidak jadi naik ke motor. Emosinya sedang tidak stabil, ia menyahut, "Memang kenapa?"
"Kayak orang aneh!" ledek pria itu tanpa sungkan.
Hanasta melirik lagi. "Kau juga pakai jaket. Enggak aneh?"
Ridwan berdecak. "Udah, cepat naik. Kau kira urusanku cuma ini?"
Hanasta manut. Ia naik ke atas motor. Namun, sebelum Ridwan menarik gas, perempuan itu menyuarakan balasan atas ocehan si lelaki.
"Kau kira kerjaanku dengerin ocehan kau? Bagus diam, daripada cakap enggak bagus."
Tidak jadi menjalankan sepeda motor, Ridwan menengok perempuan di boncengan. Matanya menajam sampai kedua alis menyatu.
"Apa kau bilang?"
Hanasta mengerling. "Apa?"
"Apa kau bilang tadi?"
"Memang aku bilang apa?"
Mengeraskan rahang, Ridwan memberi tatapan menantang. "Kau suruh aku diam tadi?"
"Itu dengar." Hanasta memalingkan wajah ke kanan. "Cepat gerak. Kau kira kerjaanku cuma ini?"
***
Hanasta dan Ridwan sedang menuju parkiran untuk mengambil sepeda motor usai berbelanja ketika seorang perempuan mendatangi. Perempuan dengan rambut panjang itu berdiri di hadapan Ridwan, mengadang langkah lelaki itu. Membuat Hanasta yang berjalan di belakang si pria terlambat berhenti dan menabrak punggung orang di depannya.
Ridwan menengok dengan satu alis menukik. Namun, ia tak sempat mengatakan apa-apa, sebab si perempuan yang memblokade jalannya lebih dulu bersuara.
"Jadi, berita itu benar, Bang?"
Ridwan tampak menatap tenang. "Nanti kita bicara. Kau jangan bikin ribut di sini," peringatnya.
"Sebenarnya kamu serius enggak sama hubungan kita?!"
Suara wanita itu melengking, Hanasta berdecak pelan. Ia mengambil langkah. "Aku tunggu di parkiran," ucapnya sambil berjalan melewati Ridwan.
Hanasta yakin, perempuan itu punya hubungan dengan Ridwan. Karena itu ia pergi. Ia tak mau ikut campur. Namun, bukan berarti Hanasta tutup mata dan mengabaikannya.
Saat Ridwan akhirnya muncul di parkiran sendirian, gadis itu langsung menodong dengan pertanyaan, "Yang tadi itu pacarmu?"
Ridwan naik ke atas motor. Pria itu hanya melempar tatapan malas. "Bukan urusanmu."
"Kalau memang punya pacar, kasih tahu Ibuk. Ini bisa kita jadikan alasan untuk membatalkan pernikahan." Berdiri di samping motor, Hanasta menjatuhkan pandang pada spion. Enggan menatap Ridwan yang sudah memberi tatapan memicing.
"Kubilang itu bukan urusanmu," ulang si lelaki dengan suara lebih rendah.
"Pacarmu apa bukan?" desak Hanasta. "Aku enggak punya pacar, karena itu argumenku enggak terlalu didengar. Siapa tahu kalau Ibuk tahu soal pacarmu, dia akan berubah pikiran."
Hanasta berkedip bingung. Mustahil sekali Dewi tidak tahu kalau anaknya punya pacar, 'kan? Namun, itulah yang Hanasta tangkap dari beberapa obrolan mereka belakangan. Dewi yakin sekali kalau anaknya tidak punya gandengan.
Apa Ridwan merahasiakan pacarnya tadi?
"Dia bukan pacarku."
Kedipan mata Hanasta makin sering.
"Aku enggak punya pacar," ulang Ridwan. "Dia cuma teman yang mungkin suka samaku. Puas?"
Menimbang beberapa saat, Hanasta naik ke motor. Ia terima saja pengakuan Ridwan tadi. Mau mendebat pun, rasanya terlalu ikut campur. Lagi pula, Dewi juga sudah berkali-kali berkata kalau memang Ridwan tidak punya kekasih.
Padahal, kalau benar Ridwan punya pacar, rencana pernikahan mereka masih punya kesempatan untuk dihentikan.
….
![](https://img.wattpad.com/cover/359412425-288-k59449.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomansaDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...