Bab 25

1.7K 155 4
                                    

Hari-hari penuh air mata.

Sebelum tidur, Hanasta akan menangis di bawah selimut. Siang-siang kalau Dewi pergi arisan atau bertemu teman-teman, perempuan itu akan Ridwan dapati tersedu-sedu sendirian di dapur. Ridwan tebak, ini semua masih karena peristiwa di acara hajatan minggu lalu.

Pria itu takjub betapa Hanasta sulit sekali lupa pada hal itu. Ia juga terkesan karena air mata si perempuan seperti tak ada habisnya. Seperti siang ini. Karena Dewi pergi bersama teman-teman paduan suara gereja, Hanasta memanfaatkannya untuk menangis di kamar.

"Hanasta, masih juga nangis kau?"

Tanyanya tak disahut, Ridwan menarik paksa selimut yang menutupi wajah si istri. Didapati pria itu mata dan hidung Hanasta memerah. Pipinya basah, sampai ke rambut di dekat telinga.

"Gak bosan kau nangis?"

Hanasta berusaha menarik selimut dari tangan Ridwan. Namun, ia tak berhasil.

"Diam gak kau?"

Bukannya diam, Hanasta malah makin sesenggukan. Ridwan naik pitam karenanya. Pria itu mengusapi wajah istrinya dengan kain selimut.

Perempuan itu menghindar, tangisnya terjeda beberapa detik.

"Awas kau!" Dipukulnya lengan Ridwan.

"Diam makanya."

"Terserahku! Nangis pun enggak boleh di rumahmu ini?"

"Iya, gak boleh. Bising!

Duduk di atas tempat tidur, Hanasta tertunduk. Suara isakannya memelan, tetapi air matanya tak kunjung surut.

"Kau kira kalau nangis ada yang berubah?"

"Kalau enggak nangis, memang aku bisa apa?" balas Hanasta dengan suara lirih. Ia beri tatapan benci pada suaminya. "Apa lagi yang aku bisa selain nangis? Mau balas orang yang ngatain kemarin? Mau bilang apa? Dia benar. Apa yang dia bilang enggak salah."

Ia tertunduk putus asa. "Mau ngelawan kau karena kemarin ngatain aku bodoh? Gimana caranya? Aku enggak punya uang untuk lari dari sini."

Hanasta mengusap hidung yang berair. "Udah miskin, diomongin orang, mau kabur juga enggak bisa. Nangis pun kau larang juga!"

Ridwan melipat dahi mendengar ocehan itu. Ia tak senang.

"Kok jadi kabur ceritamu?"

"Jadi apa?" Hanasta mendongak dengan tatapan benci. "Kalau aku kabur dari sini, aku enggak akan ketemu orang-orang itu. Aku bisa pindah ke tempat baru, jauh dari semua orang yang kenal aku atau keluargaku. Berhenti jadi bahan gunjingan mereka dan bisa hidup tenang!"

Hanasta menyeka mata. "Katamu enggak suka sama pernikahan ini. Kenapa kau belum melakukan apa-apa biar kita pisah?"

Mulut Ridwan menganga tak senang.

"Kalau kita cerai, setidaknya satu bahan gunjingan orang tentangku akan hilang."

Si lelaki melempar selimut ke lantai. Mendengar begitu gampangnya Hanasta meminta pisah, ia benar-benar marah. Apa perempuan ini tidak memikirkan Dewi?

"Kau kira kalau pisah, kau bisa hidup? Mau tinggal di mana kau?" Ridwan menaikkan dagu dengan tatapan remeh. "Tinggal di rumah bapakmu lagi? Kau pikir dia mau nerima kau kalau jadi janda? Udah bagus di sini bisa makan dan tinggal gratis. Pisah pulak ceritamu."

Dihantam telak di titik lemahnya, Hanasta menangis lagi.

"Kau bilang gak punya uang. Udah, gak usah mikir macam-macam kau. Pisah, pisah! Gak ada cerai di agama kita."

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang