Bab 3

1.7K 150 3
                                    

Hanasta sedang menyapu teras, saat tak sengaja melihat pekarangan tetangga agak ramai. Penasaran ada apa, ia menengok ke sana, menjeda sebentar kegiatan bersih-bersihnya. Dilihatnya ada sekitar 5 orang berlalu-lalang, mobil pick up, kasur, lemari dan barang-barang lainnya.

Beberapa orang mengangkat kasur dan lemari turun dari pick up. Beberapa orang lain sibuk mengecat dinding luar rumah. Hanasta tebak ada penghuni baru di rumah sebelah yang sebelumnya memang kosong.

"Rumah itu udah dibeli orang."

Dari dalam rumah, ibunya Hanasta, Nurma, datang dan membawa kabar tersebut. Wanita itu menatap penuh damba ke rumah sebelah.

"Yang beli pengusaha," lanjut Nurma. "Baru menikah, nanti istrinya akan diajak tinggal di sini."

Hanasta tak menanggapi. Perempuan itu hanya terus menatapi rumah sebelah itu, tetapi sorot sedih di matanya tak bisa disembunyikan.

Lebih-lebih ketika seorang pria keluar dari rumah sebelah itu. Ibunya bilang itu si suami yang baik. Tampaknya turut mengurusi persiapan dan perbaikan rumah baru. Sendirian pula, tanpa sang istri. Makin memberi kesan kalau sungguh pria itu adalah suami idaman.

"Nasib istrinya bagus. Mudah-mudahan suamimu nanti juga sekaya itu."

Mendengar ucapan ngawur itu, Hanasta langsung merampungkan pekerjaan menyapunya secepat yang dibisa, lalu balik badan masuk ke rumah. Menikah-menikah. Jauh sekali mengkhayalnya.

Memang, Hanasta tak menampik kalau ia merasa sedikit iri pada cerita tetangga baru tadi. Benar-benar mujur nasib perempuan itu bisa bertemu lelaki baik. Dibelikan rumah baru, dibelikan banyak perabot cantik. Pun, tidak turut disusahkan untuk mengurusi semua.

Siapa yang tak mau diperlakukan begitu? Namun, Hanasta masih harus berpikiran logis. Memang, dia sudah melakukan apa hingga bisa mendapat berkah berupa suami baik seperti si perempuan calon tetangga itu?

Selesai membersihkan rumah, Hanasta ingin segera masuk ke kamar. Ini memang masih pukul sembilan, tetapi di rumah sedang ada ayah dan ibunya. Bukan tidak mungkin dua orang itu akan segera memulai sebuah pertengkaran. Sikap yang benar ialah menghindar.

Bukan berburuk sangka. Dua puluh sembilan tahun hidup, Hanasta sudah paham bagaimana watak kedua orangtuanya. Tiap kali bertemu, pasti ribut. Ada saja masalah yang bisa membuat mereka adu mulut, bahkan sampai lempar-lemparan barang. Namun, lucunya, sampai sekarang mereka tak jua ingin berpisah.

Saat akan masuk ke kamar, Hanasta dipanggil sang ayah yang baru bangun. Ia diminta duduk di ruang tamu. Hanasta memicing curiga pada Tio.

"Kamu kenal Buk Dewi?" tanya Tio usai menguap dan mengusap wajah baru bangunnya.

Hanasta menggeleng. Ayahnya menajamkan mata, gadis itu memalingkan pandang ke meja di depannya.

"Itu, yang rumahnya lewat balai desa. Rumah besar yang warna kuning itu. Nanti siang, pergi ke sana. Ketemu sama Buk Dewi."

"Ngapain?" Hanasta masih tak mau menatap ayahnya.

"Datang aja. Dia itu ibunya Bang Ridwan. Yang kemarin nagih utang ke sini."

Makin tak pahamlah Hanasta. Ia tak kenal Buk Dewi. Untuk apa mereka bertemu? Mau apa memangnya? Terlebih lagi ternyata Dewi ini ibunya si penagih utang mengerikan kemarin.

"Aku enggak mau," putus Hanasta sambil bangkit berdiri.

Tio langsung tampak kesal. "Kenapa kerjaanmu selalu ngebantah? Pergi saja ke sana apa susahnya?"

Hanasta balik badan. Tak menantang tatapan marah ayahnya, tetapi gadis itu tetap tampak tak terima.

"Untuk apa pergi ke sana? Aku enggak punya urusan sama dia."

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang