Bab 19

599 67 3
                                    

Hanasta sedang minum di dapur saat melihat Ridwan datang. Pria itu melotot padanya. Hanasta segera melarikan tatapan ke atas.

"Jangan masuk kamar lagi kau."

Perintah itu membuat langkah si perempuan terjeda. Ia menengok pada sang suami yang sudah menaruh barang-barang yang tadi dibawa ke lantai.

"Pindahkan semua ini ke kulkas. Gak bisa?" Ridwan menyindir. Pria itu membuka jaketnya.

Menimbang sebentar, Hanasta mengangguk. Ia sudah lebih sehat hari ini. Perutnya tidak mengamuk lagi. Lagi pula, Ridwan hanya meminta bantuan memindahkan barang-barang. Pun, Dewi sedang pergi, jadi daripada pergi tidur lagi, lebih baik membantu sedikit.

Hanasta mulai membongkar isi dua plastik besar yang tadi Ridwan bawa. Ternyata pria itu habis belanja. Ada banyak sayur, ikan, ayam, bumbu masakan, susu, kebutuhan kamar mandi dan barang-barang lainnnya.

Satu per satu barang-barang itu Hanasta susun ke tempat semestinya. Saat akan menyimpan barang-barang kamar mandi ke lemari, ia tidak sengaja melihat apa yang sedang Ridwan kerjakan di depan wastafel.

Pria itu tengah membersihkan ikan ternyata. Hanasta jadi merasa sedikit bersalah.

"Kau mau masak?"

Ridwan melirik. Tangannya bergerak gesit memotongi ikan menjadi beberapa bagian. "Gak. Mau kawin aku sama ikan ini. Kenapa? Gak setuju kau kumadu sama ikan mujair? Cantik dia ini, muncungnya panjang, badannya bahenol."

Malas meladeni orang gila, Hanasta lanjut berjalan. Inginnya kembali ke kamar, tetapi suara Ridwan menahannya.

"Buat bumbunya. Gak bisa kau?"

Perempuan itu berbalik. Tatapan tajamnya mengarah ke punggung si lelaki. Kalau bisa, ia ingin pukul punggung si makhluk menyebalkan itu.

"Enggak bisa," sahut Hanasta jujur. Ia memang tidak mengerti soal bumbu-bumbu. Paling jauh ia hanya bisa buat telur dadar dan sambal.

"Selama ini kata Mamak kau bantuin dia masak."

"Mamak yang kasih tahu bumbu apa aja yang mesti diblender."

Ridwan mengangguk malas. "Ini dia menantu kesayangan Mamakku," sindirnya sambil berbalik ke wastafel lagi.

Hanasta menengok ke kiri.

"Bawang merah, bawang putih, kunyit, kemiri," tutur si lelaki.

Hanasta mengambil keranjang bumbu. Ia ambil semua yang tadi suaminya sebutkan. "Yang merah berapa?" tanya perempuan itu tanpa mengangkat wajah.

"Lima."

"Yang putih?"

"Tiga aja." Ridwan kembali mengurusi ikannya.

"Kunyitnya seberapa?"

"Satu aja."

"Kemiri, tiga?" tebak Hanasta.

"Iya."

"Enggak pakai cabai?" Hanasta duduk di kursi makan untuk mulai mengupasi bumbu-bumbu tadi.

"Gak usah. Nanti kau gak bisa makan."

Hanasta diam. Tangannya berhenti bergerak. Perempuan itu mengangkat kepala dan melempar tatapan heran pada si pria yang memunggungi.

Lelaki itu kemudian berbalik. Dia berjalan ke arah Hanasta dengan nampan berisi ikan yang sudah bersih.

"Kenapa?" tanya lelaki itu usai  berdiri di samping Hanasta yang masih mematung.

Si perempuan kemudian berdeham. Ia kembali menunduk. "Katanya, orang yang tiba-tiba jadi baik biasanya karena ajalnya udah dekat."

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang