Bab 14

560 51 1
                                    

Ridwan yang baru keluar dari kamar melangkah ke dapur. Pria itu menaikan satu alis ketika menemukan kalau di sana hanya ada Dewi. Pria itu mengambil minum, pandangannya melirik ke arah kamar mandi.

Kamar mandi mereka kosong. Lantas, di mana perempuan itu?

Ridwan tidak menemukan Hanasta di kamar saat ia bangun. Ia kira si istri sedang pencitraan, sudah ada di dapur pagi-pagi untuk mengurusi hal-hal. Namun, yang memasak saat ini malah Dewi.

"Hanasta mana, Mak?" tanya lelaki itu saat mendaratkan bokong di kursi makan.

"Masih tidur," jawab Dewi.

"Tidur? Gak ada di kamar."

"Di ruang tamu. Tadi pagi dia udah bangun, tapi mamak tengok masih ngantuk, jadi dia tidur lagi," jelas si ibu sembari memindahkan ikan teri sambal ke piring.

"Tidur lagi? Gimana bisa tidur lagi? Harusnya dia yang masak," protes si anak.

"Capek kayaknya. Mamak maklum, kok." Dewi tersenyum semringah. Membawa sepiring lauk yang barusan matang, ia mendatangi Ridwan.

"Tadi, mamak suruh dia balik ke kamar," tutur wanita itu bersemangat. "Tahu kau apa jawabnya?"

Ridwan mengangkat bahu tak antusias.

"Dia bilang mau tidur di ruang tamu aja. Kalau masuk kamar lagi, takut bising dan kau terbangun." Dewi tersenyum-senyum. "Baik kali istrimu itu, 'kan?"

Ibunya kembali berkutat dengan kompor dan masakan, Ridwan memasang wajah datar dan tidak peduli. Baik apanya? Hanasta memang sengaja tidak mau kembali ke kamar.

Ridwan tahu kalau semalaman ini perempuan itu tidak tidur. Hanasta memang berbaring memunggungi, tetapi ia tahu kalau istrinya itu hanya pura-pura lelap. Tampaknya perempuan itu sungguh takut padanya.

Mengambil waktu untuk cuci muka, Ridwan pergi ke ruang tamu setelahnya. Hanasta memang di sana, tidur di atas kursi panjang. Mengamati sesaat, Ridwan yakin kalau kali ini istrinya tidur sungguhan.

"Hanasta," panggil pria itu mencoba membangunkan.

Ia tidak sepaham dengan Dewi. Selelah apa pun Hanasta karena acara pernikahan semalam, sudah seharusnya gadis itu yang menyiapkan sarapan pagi ini. Apa gunanya Ridwan punya istri kalau yang membuatkan makanannya masihlah Dewi?

"Hanasta." Kali ini Ridwan menyenggol lengan Hanasta. Perempuan itu masih tampak tidak terusik. "Hanasta!" jeritnya sengaja.

Si perempuan terjaga. Matanya menyipit untuk menjernihkan pandangan. Saat sadar kalau yang di hadapan adalah Ridwan, ia langsung duduk.

"Ngapain aku punya istri kalau yang masak dan ngurus rumah ini masih Mamak? Jangan malas kau jadi istri." Ridwan mulai mengomel.

"Udah dibilang biarkan aja." Dari arah belakang Dewi datang. Wanita itu langsung memukul punggung si anak. "Istrimu capek, kau nggak ngerti?"

"Capek ngapain? Memang kita gak capek?"

Dewi berdecak malas. Wanita itu membantu Hanasta berdiri, kemudian memapah gadis itu ke kamar.

"Tidur aja. Kalau udah lapar, makan, ya?" Membiarkan Hanasta berbaring, wanita itu mengusap kepala si gadis lembut.

"Mamak ini kenapa?" sungut Ridwan usai ibunya menutup pintu kamar dari luar.

"Diam kau. Kau kalau mau makan, makan. Aku udah masak. Gayamu nuntut kewajiban dia sebagai istri, haknya belum kau kasih." Dewi mendorong Ridwan untuk kembali ke dapur. "Sana, makan kau. Jangan ribut."

***

Ridwan berdecak ketika kaki sudah mencapai teras, tetapi ia lupa membawa tas pinggang. Sudah putar badan, ia ingat kalau penghuni rumah ini sudah bertambah satu. Sudah ada orang yang bisa ia suruh-suruh.

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang