Perang sudah selesai. Di akhir cerita, Ridwan dipaksa mengalah pada kemauan Dewi. Nyawa ibunya jadi taruhan, bisa apa lelaki itu?
Tidak secara gamblang menyatakan persetujuan, tetapi bersedianya Ridwan disuruh pergi bersama Hanasta pagi ini adalah bukti bila pria itu sudah menyerah. Dewi memerintah untuk mulai menyiapkan pernikahan. Hal pertama yang wanita itu suruh beli adalah pakaian dan sepatu.
Biasanya, Ridwan baru akan bangun pukul sepuluh pagi. Lelaki itu pergi bekerja--mengutip setoran nasabahnya--di pukul tiga sore. Namun, karena hari ini harus berbelanja, Ridwan terpaksa bangun pukul enam.
Pria itu sudah mandi. Sekarang sedang sarapan. Itu pun tak bisa tenang, sebab ibunya kembali bertitah.
"Bawakan sandal Hanasta sekalian. Kemarin itu ketinggalan dan kita nggak sempat antar."
Selera makan Ridwan langsung anjlok ke titik paling rendah. Lelaki itu menaruh sendok, dan hanya menghabiskan teh manis. Sepagi ini ia sudah benar-benar mirip babunya Hanasta. Harus mengantar gadis itu belanja dan membawakan sandalnya pula.
Kesal, Ridwan pamit pada Dewi. Tak lupa sandal yang sudah dimasukkan ibunya ke kantongan plastik ia bawa. Dengan wajah ditekuk, lelaki itu mengendarai motor menuju rumah Hanasta.
Butuh sepuluh menit untuk Ridwan tiba di rumah Hanasta. Saat ia sampai, si gadis sudah duduk di undakan teras. Ridwan sengaja menajamkan pandangan ke perempuan itu, tetapi lagi-lagi Hanasta melengos usai menatapnya balik selama satu detik.
Motornya Ridwan berhentikan tepat di depan Hanasta. Dari dalam rumah, Nurma datang. Ibunya Hanasta itu menyapa, Ridwan hanya menanggapi sekenanya.
Inginnya melempar plastik berisi sandal si gadis. Namun, mengingat pesan Dewi agar tidak berlaku kasar, pria itu terpaksa membungkuk dan menaruh plastik di depan kaki Hanasta.
"Cepat sedikit. Kerjaanku bukan cuma ini."
Hanasta bangkit dari duduk. Perempuan itu memakai sandal, kemudian memutari sepeda motor Ridwan. Ia hendak naik saat menyadari kalau pijakan di motor itu belum diturunkan.
Hanasta berusaha menurunkan itu dengan kaki. Namun, tenaga tak cukup kuat. Dia berjongkok, kali ini ditariknya turun dengan tangan. Namun, hasilnya masih sama.
Ridwan yang melihat itu dari atas motor berdecak kesal. Ia memberi tatapan remeh pada tangan Hanasta yang kurus. Jelas saja tak punya cukup tenaga.
"Awas," suruh pria itu ketus. Hanasta menjauhkan tangan, ia dorong pijakan kaki dengan kakinya. "Gitu aja gak bisa," omelnya.
Hanasta sudah naik, Ridwan angsurkan helm. "Kita lewat jalan kota," beritahu lelaki itu malas-malasan. "Nanti kena tilang, masalah baru lagi."
Usai Hanasta rampung memakai pelindung kepala, ia pamit pada Nurma. "Pigi dulu, Buk," katanya dengan suara tak bersemangat.
"Hati-hati," sahut Nurma dengan senyum cerah.
Sepanjang jalan, Ridwan tidak bicara apa-apa. Begitu juga gadis di belakangnya. Sesekali si lelaki mengintip dari kaca spion, hanya untuk menemukan Hanasta sedang mengernyit atau berkedip cepat-cepat seolah tak nyaman.
Setengah jam berlalu, akhirnya mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan. Ridwan memarkirkan sepeda motor, kemudian berjalan duluan ke salah satu toko baju langganan. Di belakangnya, Hanasta mengekori.
Masuk ke dalam toko, Ridwan langsung menyebutkan pakaian apa yang ia cari. Satu set kebaya, kemeja dan jas pria untuk dipakai di acara pernikahan.
Si pegawai yang melayaninya bergerak sigap membawakan beberapa potong pakaian. Ia sebutkan harga, Ridwan malah sibuk mengamati Hanasta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomansDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...