Pulang menagih, Ridwan sampai di rumah sekitar pukul empat sore. Hari ini, ia sengaja pulang cepat karena ibunya masih belum sepenuhnya sehat. Tiba di rumah, pria itu langsung disuguhi pemandangan janggal di pekarangan rumah.
Ridwan menghentikan sepeda motor tepat di depan pintu. Lelaki itu menengok ke belakang, ke arah tempat biasa ia dan Dewi menjemur pakaian.
Ada Hanasta di sana. Gadis itu sedang menjemur pakaian. Pemandangan yang sontak membuat emosi Ridwan muncul membabi buta.
Dua hari belakangan gadis itu memang mondar-mandir di rumah. Dewi bersikeras Hanasta harus merawatnya selama sakit. Ridwan diam, membolehkan, bukan berarti ia senang. Lelaki itu hanya berusaha menahan diri. Namun, tidak sore ini.
Segera lelaki itu turun dari motor. Langkahnya besar-besar menuju Hanasta. Setelah sampai, ia tarik tangan Hanasta sampai pakaian yang gadis itu pegang jatuh.
Ridwan mencengkeram tangan Hanasta makin kuat, karena perempuan itu berusaha menarik diri. Mata Ridwan makin menyala oleh amarah saat Hanasta lagi-lagi memilih menyebar pandang ke segala arah, kecuali padanya.
"Kau itu memang perempuan gak punya malu, ya!" hardik Ridwan.
Hanasta tak menjawab. Perempuan itu memutar dan menarik-narik pergelangan tangan yang dipegangi Ridwan. Masih berusaha melepaskan diri dari lelaki itu.
"Ngapain kau jemur baju Mamak? Mau cari perhatian? Mau menjilat kau?"
Gadis itu masih tak bersuara. Ridwan makin kesal sebab ia sampai harus menunduk untuk bisa melihat ekspresi perempuan itu. Pandangannya dihalangi rambut Hanasta yang panjang dan tergerai jatuh.
Ridwan menyibak rambut gadis itu. Didapatinya Hanasta menatap ke bawah. Ridwan makin geram saja. Ia seolah sedang tidak dipedulikan. Ia merasa kalau Hanasta sedang mengabaikan kemarahannya.
"Ka--"
Ucapan lelaki itu menggantung, tak jadi diteruskan sebab tengah terheran. Di depannya, usai menyerah berusaha melepaskan pergelangan tangan, Hanasta berjongkok. Gadis itu berjongkok dengan kepala makin tertunduk.
"Kau ngapain?!" bentak pria itu tidak mengerti.
Belum sempat Ridwan mendengar Hanasta menjawab, suara ibunya yang datang dari dalam rumah terdengar.
"Ridwan!" Wanita itu berteriak murka. Ia hampiri anaknya dengan langkah tergesa.
Dewi menarik paksa tangan Ridwan dari Hanasta hingga pegangan si lelaki terlepas. Didapatinya pergelangan tangan si gadis memerah, Dewi memukul lengan anaknya kuat. Namun, Dewi tak sempat menyuarakan amarah.
Ibu dan anak itu lebih dulu terhenyak kala mendengar suara isakan pelan. Kedua orang itu serempak menoleh pada Hanasta yang masih berjongkok. Bahu gadis itu tampak bergetar. Pelan-pelan suara isakan dari sana naik volumenya.
Dewi mengerjap iba. Wanita itu merasa bersalah. Ia sudah akan berjongkok untuk memeluk Hanasta, tetapi si gadis lebih dulu berdiri, kemudian berlari pergi.
"Hanasta!" panggil Dewi cemas.
Ibunya Ridwan berusaha mengejar, tetapi Hanasta yang larinya lebih cepat sudah melewati pagar. Dewi hanya bisa mendesah sedih saat kembali dan akan masuk ke rumah. Dilihatnya sandalnya Hanasta tertinggal.
Anaknya yang menyusul langsung ia beri tatapan kecewa.
"Udah berapa kali aku bilang? Jangan kasar. Kau bilang apa, sampai Hanasta nangis begitu? Kau bahkan mau memukul dia?"
Ridwan menggeleng. "Aku cuma bilang yang benar. Ngapain dia jemur baju Mamak kalau bukan untuk menjilat? Pikirnya aku bakal setuju dinikahkan dengan dia?"
Dua hari belakangan Hanasta berlagak macam nyonya rumah ini. Perempuan itu memasak di dapurnya. Masuk ke kamar Mamak. Menyuapi Mamak dan menjemurkan baju? Muak Ridwan melihat tingkah gadis itu. Dan tadi adalah puncaknya.
Hanasta berniat menguasai rumahnya ini? Bermimpi saja perempuan itu. Ridwan tak akan pernah izinkan.
Dewi menghela napas. Ia duduk di kursi teras. "Udah berapa kali aku bilang? Hanasta juga nggak setuju jadi istrimu."
"Baguslah!" sahut Ridwan sewot.
"Dia juga terpaksa," sambung Dewi lagi. "Dan perlu aku tegaskan padamu. Kau setuju atau nggak, pernikahan ini akan tetap terjadi."
Mata Ridwan memicing tak suka. "Aku gak mau, Mak! Berapa kali harus kubilang? Aku gak mau nikah, lebih-lebih sama perempuan aneh itu!" Telunjuk pria itu mengarah ke pagar.
Dewi melempar tatapan dingin. "Lalu, kau mau melanjutkan hubunganmu sama perempuan itu?"
Ridwan tak menjawab. Pria tersebut memalingkan wajah ke arah pagar. Ia masih belum punya keberanian membahas ini.
"Kuulangi. Kau harus menikahi Hanasta. Kalau kau tak mau, lebih baik aku mati aja."
Si anak berbalik dengan ekspresi tak terima. Apa-apaan ancaman tadi?
"Pilih." Dewi merendahkan suara, memastikan anaknya paham kalau ini adalah ujung dari perdebatan mereka. "Nikahi Hanasta atau kau nggak akan punya ibu lagi."
Ridwan masih belum mengatakan apa-apa saat Dewi berlari ke dalam rumah. Firasat buruk dan rasa cemas mendorong lelaki itu untuk mengikuti ibunya masuk. Betapa Ridwan dibuat terbelalak ketika menemukan ibunya sudah akan menuang cairan pembersih lantai kamar mandi ke dalam mulut.
Ia rampas botol biru itu dari tangan Dewi. Matanya menatap marah. "Mamak mau apa?!" pekiknya dibarengi rasa takut.
Dada Dewi naik-turun dengan cepat. Wanita itu sedikit terengah. "Pilih," putusnya mutlak. "Nikahi Hanasta, atau biarkan aku mati aja. Aku nggak tahan lihat kau terus berhubungan sama perempuan itu. Dapat apa kau dari dia? Sampai kapan kau mau kayak begini?"
Rahangnya mengetat. Ridwan mencengkeram botol di tangan. "Mamak pikir, kalau aku menikah sama dia ... semua ini akan berubah?" Mata pria itu memerah.
Air mata Dewi jatuh. Ia bisa lihat rasa putus asa di kedua mata putranya. Mengingatkannya akan betapa hancurnya Ridwan ketika bercerai dulu.
"Mamak kira, hidupku akan lebih baik setelah menikah sama dia? Dia siapa memangnya? Apa yang dia punya sampai Mamak yakin aku akan lebih baik kalau hidup sama dia?"
Lelaki itu menggeleng frustrasi. Deru napasnya mulai menyepat karena emosi yang merebak.
"Gak ada, Mak. Gak ada. Aku ... aku tetap akan begini, nikah atau gak nikah. Jadi, ayo akhiri ini, Mak. Ja--"
"Nggak!" sela Dewi kencang. Wanita itu menghapus air mata. "Hanasta berbeda. Dia nggak serupa dengan mantan istrimu. Dia juga lain dengan perempuan itu."
Dewi menelan ludah, berusaha kembali tenang. "Pilih," lanjut wanita itu. "Nikahi Hanasta atau ...." Direbut si ibu botol berisi cairan pembersih lantai tadi dari Ridwan. "Biarkan aja aku mati malam ini."
Tersudut, putus asa, Ridwan tertunduk lelah. Pria itu mengusap wajahnya beberapa kali, lalu menoleh pada Dewi yang menatap tak gentar padanya.
"Pilih Ridwan!" jerit Dewi.
"Oke!" balas Ridwan tak kalah kencang. "Puas? Mamak puas?"
Ridwan merebut botol biru itu. Ia buang ke tempat sampah di dapur. Tangannya baru saja akan mengambil gelas untuk minum, ketika Dewi menyusul.
"Kita ke rumah Hanasta sekarang. Kau harus minta maaf, sekalian bilang ke Pak Tio kalau secepatnya kalian akan menikah."
Diambil lelaki itu gelas untuk kemudian dibanting ke lantai. Benda itu tidak pecah, tetapi suara benturannya lumayan kencang karena terbuat dari besi. Ridwan melempar tatapan kalah pada Dewi.
"Semoga Mamak gak menyesal," tuturnya dengan suara lirih. "Karena bisa kupastikan. Pernikahan ini gak akan ngeubah apa-apa."
….
![](https://img.wattpad.com/cover/359412425-288-k59449.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
Любовные романыDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...