"Mak, itu sayurnya udah aku pindahkan. Mamak makan duluan aja. Aku pergi, ya."
Suara Hanasta itu membuat Ridwan pelan-pelan terjaga. Lelaki yang tidur di ruang tengah itu melihat istrinya berjalan dari dapur.
"Jadi mau ambil ambal?" Dewi mengekori dari belakang.
Ridwan menelungkupkan tubuh, membenamkan wajah ke bantal. Ia malas menontoni keakraban menantu dan mertua itu. Sudah berhari-hari dua perempuan itu begini. Sok sibuk berdua, lupa padanya.
Ibunya bahkan lupa bicara padanya kemarin. Ridwan pergi atau pulang menagih, pria itu akan temukan Dewi sibuk berdua dengan Hanasta. Kadang mereka menonton di ponsel Hanasta, kadang memasak kue, kadang membersihkan gudang berdua, kadang tidur siang bersama macam anak dan ibu betulan.
Aneh. Padahal, di sinteron-sinetron Ridwan sering lihat menantu perempuan yang ditindas mertua. Kenapa Dewi dan Hanasta lain, ya?
"Ridwan."
Punggungnya ditepuk, Ridwan mengangkat wajah dari bantal. Alisnya menukik tak senang. Ibunya sudah duduk di sebelah.
"Apa?" jawab lelaki itu malas.
Paling Dewi ingin menyuruhnya membeli air. Beberapa hari belakangan Ridwan cuma kebagian tugas itu. Membeli air dan memberi uang.
"Antar dulu Hanasta ke rumah bapaknya."
Ridwan langsung duduk. Mata mengantuknya menyorot sengit pada si istri yang berdiri di depan pintu kamar.
"Kenapa? Mau minggat dia?"
Celetukan asal Ridwan dibalas Dewi dengan satu tepukan kuat di lengan. Si pria yang tidur tanpa kaus mengaduh karena sensasi panas dan perih di kulit.
"Hanasta mau ambil ambalnya. Sana, antar dulu," suruh Dewi setengah memaksa.
"Aku bisa jalan kaki, Mak," tolak Hanasta.
Dewi menggeleng. "Mumpung lakik-mu ini libur. Ngapain dia cuma tidur-tidur?"
Menguap, Ridwan menggaruk rambut. Lelaki itu bangkit. "Tunggu aku cuci muka," katanya sambil bergerak ke kamar mandi.
Ridwan membasuh wajah. Sekalian di dapur, pria itu minum dan mengambil satu bakwan yang tadi sempat dibuat Dewi dan Hanasta.
"Bentar ambil kaus," katanya ketika melewati Hanasta yang masih berdiri di depan pintu kamar.
Mereka berangkat tak lama kemudian. Di atas motor yang melaju sedang, Ridwan menengok Hanasta lewat spion. Lagi-lagi perempuan itu mengenakan jaket.
"Kau pakai jaket pas terik kayak gini, gak panas?" tanya pria itu berbasa-basi.
Si istri melirik ke spion. Ia menggeleng pelan.
"Ambil ambal mau ngapain?"
Pertanyaan itu Ridwan suarakan saat mereka tiba di rumah Tio. Tidak dijawab, lelaki itu menemukan pintu rumah mertuanya terkunci. Ridwan tebak orang tua istrinya sedang pergi.
"Gak ada orang di rumah," beritahunya.
Hanasta mengabaikan itu. Ia turun dari motor, kemudian membuka pintu dengan kunci cadangan yang memang masih ia pegang. Masuk ke rumah, gadis itu keluar sepuluh menit kemudian sambil memeluk ambal warna ungu.
"Ambal ini untuk apa?" Ridwan memindahkan ambal itu ke jok depan. Ia sangsi Hanasta yang kurus itu bisa memegangi di belakang.
"Nanti ke laundri ambal dulu."
Si lelaki menengok dengan satu alis naik. "Kau gak dengar? Aku tanya ini untuk apa? Di rumahku banyak tempat tidur."
Mengatakan itu, Ridwan jadi menebak. "Apa kau mau kita pisah tidur?"
![](https://img.wattpad.com/cover/359412425-288-k59449.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...