Semua orang tampak baik-baik saja, kecuali Hanasta. Orang tuanya, Tio dan Nurma, terlihat tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Ayah dan ibu Hanasta itu memasang wajah semringah pada semua tamu yang datang.
Dewi apalagi. Wanita itu tertawa-tawa dengan para kerabat yang datang. Beberapa kali mengajak Hanasta bertemu kenalan-kenalannya dan dengan suara ceria memperkenalkan Hanasta sebagai menantu. Padahal, tidak perlu diberitahu, semua orang juga akan mulai memanggil Hanasta sebagai menantu Dewi mulai hari ini.
Tadi pagi pernikahan itu digelar. Dihadiri keluarga Ridwan, keluarga Tio dan Nurma, dan beberapa teman Ridwan. Sepanjang acara pemberkatan Hanasta hanya bisa tersenyum pahit dan menahan tangis.
Di hari pernikahannya, alih-alih merasa bahagia, perempuan itu malah merasa sendirian. Tidak ada keluarga atau satu pun temannya di sini. Sedari tadi hanya bisa menatapi orang-orang di dalam gedung resepsi dengan sorot hampa dan bingung.
Tamu-tamu yang datang menyalami mengucapkan selamat, tetapi bagi Hanasta itu tidak lebih dari ucapan bela sungkawa. Perayaan atas kekalahan yang kesekian kali dalam hidup.
Duduk di pelaminan sementara sang suami sedang berkeliaran menyapa tamu, gadis itu bertopang dagu. Ia merenungkan jalan hidupnya yang sungguh kelabu.
Sejak kecil ia tumbuh dalam keluarga yang jauh dari kata harmonis. Ayah dan ibu tidak akur. Hampir tiap hari berkelahi. Kadang soal pembagian tugas rumah, kadang soal uang, kadang soal remeh seperti hilangnya sandal.
Sering mendengar ayah dan ibu berteriak, Hanasta memilih untuk jadi anak yang pendiam. Akan jadi apa rumah mereka kalau ia juga suka menaikkan suara? Tidak bisa makan karena tenggorokannya sakit, Hanasta diam. Teman-teman di sekolah mengejek sepatunya yang rusak, Hanasta tidak mengadu.
Ia memilih tidak membalas cemooh teman-teman karena tidak bisa ikut jalan-jalan di perpisahan sekolah, daripada menceritakannya pada orang tua. Begitulah Hanasta tumbuh. Menjadi pendiam yang terus diasingkan, entah itu di lingkungan sekolah atau rumah.
Hanasta kira, hidup miskin dan kurang kasih sayang sudah merupakan titik puncak derita yang harus ia alami. Namun, itu salah. Saat duduk di kelas sebelas, Hanasta kembali dibuat patah oleh kenyataan pahit.
Di rumah, Tio adalah sosok ayah yang dingin. Pria itu jarang mengajak Hanasta mengobrol. Pada ibu, lelaki itu suka berkata kasar, semena-mena karena ia kepala keluarga dan merasa superior.
Hanasta berusaha tak menuntut atau protes pada sang ayah. Ia selalu diam, meski kadang ada amarah yang ingin disuarakan. Namun, di suatu sore amarah itu meledak.
Gadis itu tak bisa mengendalikan diri. Pulang ke rumah dan bertemu Tio usai melihat kelakuan pria itu di luar, Hanasta meneriaki ayahnya.
Tio tentu mengamuk. Pria itu murka, hingga hampir memukul anak gadisnya. Ditanyai kenapa bisa sampai sekurangajar itu, Hanasta hanya bisa menangis.
Bagaimana ia bisa beritahu kalau sudah melihat ayahnya bermesraan dengan perempuan lain?
Sudah mereka miskin. Sering didengar tetangga bertengkar. Lalu, Hanasta masih harus membeberkan kalau ayahnya seorang yang tega berselingkuh?
Hanasta tidak sanggup. Rasanya ia sudah tidak punya muka. Jadi, gadis itu menutup mulut rapat-rapat. Sejak itu, ia berhenti peduli pada ibu atau ayahnya.
Hanasta pernah bilang dia tidak akan pernah mau menikah. Itu bukan sekadar bualan. Melihat betapa tidak warasnya ayah dan ibu yang tetap memilih bersama padahal sudah tidak sejalan, Hanasta apatis, pesimis dan bertekad menjauhi pernikahan. Namun, lihatlah apa yang semesta berikan padanya?
"Bisa jangan nopang dagu begitu?"
Hanasta kadang heran. Sebenarnya, kenapa dulu ia setuju untuk dilahirkan ke dunia? Atau, kalau memang kelahirannya bisa terjadi tanpa persetujuannya, lantas apa tujuan ia ada?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...