Bab 5

1.7K 139 1
                                    

Bertemu dengan Dewi.

Membayangkan itu, ujung jari kaki dan tangan Hanasta makin dingin. Perempuan itu memeluk dirinya sendiri. Matanya yang berkedip resah terpaku pada pinggiran meja di ruang tamu.

Katakan Hanasta terlalu naif. Namun, ia bisa apa? Membuat Bapak marah hanya akan menambah panjang deretan masalah.

Sore ini, Hanasta akan ke rumah Buk  Dewi itu. Namun, bukan berarti ia sudah setuju dijodohkan. Hanasta mau bertamu ke sana, karena yakin kalau bukan cuma dirinya yang menolak perjodohan aneh ini.

Mana mungkin si rentenir kemarin mau uang lima jutanya diganti dengan pernikahan?

Sengaja Hanasta memilih sore hari sebagai waktu berkunjung agar nanti tak perlu berlama-lama di sana. Dengan suara degup jantung yang ribut, Hanasta bangun dari sofa. Ia pergi ke kamar untuk mengambil satu kapsul dari laci.

Hanasta butuh tenang dan ia tak akan bisa tenang kalau perutnya membuat ulah nanti. Jadi, Hanasta butuh mengamankan lambungnya dulu dengan satu butir kapsul omeprazole.

Mengenakan jaketnya, Hanasta berjalan ke luar. Dikuncinya pintu dari luar, karena hari ini rumah hanya dihuni oleh dia seorang. Hanasta berjalan menyusuri pekarangan. Dalam hati, gadis itu berharap ada angin kencang yang membawanya terbang hingga tak bisa sampai ke rumah Buk Dewi.

***

Rumah besar kuning, setelah kantor balai desa. Mengikuti instruksi singkat ayahnya beberapa hari lalu, sekarang di sinilah Hanasta berada. Di depan pagar sebuah rumah megah bercat kuning.

Ayahnya tak membual agaknya. Rumah ini besar. Tidak bertingkat, tetapi halamannya saja sudah seukuran rumah orang tua Hanasta. Si gadis jadi bertanya-tanya. Apa benar pendapatan seorang rentenir sebesar itu?

"Buk Dewi."

Memanggil si empunya rumah, Hanasta mengintip ke dalam dari sela besi pagar yang tinggi. Apa suaranya akan dapat terdengar sampai dalam rumah? Jarak pagar dan pintu jauh sekali.

"Buk Dewi."

Sengaja gadis itu memelankan suara di  panggilan yang kedua. Kalau sekali lagi ia memanggil dan tak ada orang menyahut, maka ia bisa buat alasan ke ayahnya kalau Buk Dewi tidak rumah.

Sebelumnya tampak lesu dan tak bersemangat, pelan-pelan mata Hanasta mulai berbinar. Ada kesempatan mengelak pertemuan ini, pikirnya.

"Buk Dee--"

Mata perempuan di depan pagar itu membola. Belum juga ia selesai menyuarakan panggilan ketiga, orang yang dipanggil sudah muncul. Seketika tatapan mata Hanasta tampak redup lagi.

Ternyata, nasibnya hari ini tak semujur itu.

"Eh, Hanasta!" sapa Buk Dewi dengan senyum lebar. Dibukanya pagar, mempersilakan Hanasta masuk.

Sepertinya, hari ini Hanasta memang harus bertemu dengan Buk Dewi.

Hanasta diajak masuk ke rumah besar itu. Ternyata, kalau pagi sampai malam, Buk Dewi ini sendirian di rumah. Saat Hanasta duduk di ruang tamu, sementara Buk Dewi pergi menyiapkan teh, ia merasa sepi sekali.

Keadaan lengang ini sama seperti yang sering ia rasakan di rumah. Tidak ada suara. Tidak ada orang lain untuk diajak bicara juga. Benar-benar sepi.

"Ini, silakan diminum." Buk Dewi sudah datang dari dapur.

Wanita itu membawa dua botol minuman ringan. Satu piring biskuit dan beberapa bungkus camilan.

"Ayo, silakan," katanya dengan wajah semringah.

Hanasta mengangguk sungkan. Sebenarnya tak berminat minum atau makan apa pun, ia terpaksa membuka satu botol minuman ringan karena Dewi terus-terusan memandangi, seolah menunggu ia mengambil sesuatu.

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang