Bab 2

921 62 2
                                    

Dewi tahu kalau dirinya jauh dari kata baik sebagai orang tua. Wanita itu sadar punya banyak kekurangan, terlebih ia harus menjadi ayah sekaligus ibu bagi Ridwan sejak anak semata wayangnya itu sudah dalam kandungan.

Nasib Dewi malang. Jatuh hati hingga lupa diri, ia nekat menikah tanpa restu orang tua. Pergi jauh dari sanak keluarga yang menggaris putus hubungan darah karena Dewi memilih pria yang dianggap tak layak, hidup Dewi diwarnai kelabu dan pekatnya duka.

Suaminya malas bekerja. Pun kala Dewi sudah mengalah dengan menjadi tulang punggung, pria itu malah mencari kesenangan di luar. Puncaknya, saat tahu kalau Dewi hamil, lelaki itu pergi tanpa pamit. Kabur dari tanggungjawab.

Hidup sulit sejak kecil membuat Ridwan, putranya, serba kekurangan. Dewi tak bisa hadir tiap saat karena mesti mencari nafkah. Pun, sudah banting tulang wanita itu juga tak mampu membuat Ridwan berkecukupan dalam hal materi.

Semua itu mempengaruhi Ridwan. Anaknya itu tumbuh menjadi seorang pembenci, seorang pendendam dan mudah marah.

Dewi sempat mengira kalau perangai anaknya yang dipengaruhi luka masa kecil itu bisa membaik ketika Ridwan memutuskan menikah. Pikirnya, cinta yang anak dan menantunya sama-sama miliki bisa membuat mereka saling menyokong, saling menopang dan saling menyembuhkan. Namun, tampaknya malang masih mengikuti Ridwan.

Di dua tahun pernikahan, Ridwan mendapati kalau istrinya selingkuh. Anaknya patah hati, makin besar kebencian dan dendam di hati pria itu kala tahu bahwa alasan istrinya mendua adalah karena Ridwan yang kurang mumpuni mencukupi kebutuhan finansial.

Berbekal dari rasa sakit hati itu, kini anaknya berada di jalan yang rawan. Ridwan sekarang menjadi seorang rentenir. Orang yang mengambil keuntungan dari kesusahan dan keterdesakan orang lain.

Bukannya Dewi sok suci. Ia juga tahu kalau uang memang hal utama di dunia ini. Namun, melihat anaknya banyak dikutuk dan disumpahi orang membuat hati Dewi resah.

Ia tak mau Ridwan selamanya ada di jalan yang keliru. Memang, sekarang hidup mereka sudah berbeda jauh. Kini mereka tak lagi kekurangan. Ingin apa saja, bisa dibeli. Hendak ke mana pun, uang Ridwan pasti cukup. Namun, Dewi tidak tenang.

Lebih-lebih lagi, Dewi tahu kalau sebenarnya Ridwan juga merasakan resah yang sama. Anaknya itu belum bahagia meski kini tak lagi disepelekan orang. Mana ada orang bahagia yang tiap malam minum alkohol dan pulang dalam keadaan setengah mabuk?

Bukan Dewi tak berusaha menasihati sang anak. Hanya saja, Ridwan kerap menganggapnya angin lalu. Dewi paham mengapa anaknya demikian. Mungkin, luka-luka pengkhianatan yang Ridwan punya sudah telanjur berkarat. Namun, Dewi tak akan berputus asa.

Sebab itu wanita itu di sini. Duduk di teras rumah, menunggu anaknya pulang dari kegiatan menagih.

Angin sudah mulai berembus kencang ketika akhirnya Dewi melihat motor Ridwan terparkir di pekarangan rumah mereka yang luas. Malam yang lumayan dingin, tetapi anaknya malah hanya mengenakan kaus tipis. Wanita itu memberi senyum, menyamarkan gundah yang makin menggunung.

"Kau itu mau mati muda apa bagaimana? Bisa-bisanya mabuk begini naik kereta?"

Dewi mengomel saat anaknya duduk di sebelah dan dari pria itu tercium bau minuman alkohol. Sudah kena angin malam, setengah mabuk pula. Bagaimana kalau Ridwan mengalami kecelakaan?

"Minum sedikit, Mak," elak si anak. Ia melengos ketika Dewi berusaha memegangi wajahnya.

Dewi tersenyum getir. Wanita itu menatap ke depan lagi. Ia mendesah susah, lalu sang anak menoleh dengan kerjapan penasaran.

"Kenapa? Kaki Mamak sakit lagi?"

Dewi menggeleng. "Kepalaku yang sakit. Anak sebiji, kok, ya, masih jadi duda lapuk," candanya berusaha mencairkan keadaan.

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang