"Berhenti, berhenti dulu."
Hanasta menepuk-nepuk lengan Ridwan agar pria itu menghentikan laju motor. Si pria menepikan kendaraan, Hanasta turun.
"Kenapa?" Ridwan ikut turun usai mematikan mesin kendaraan. Dahinya berlipat heran kenapa disuruh berhenti, padahal mereka belum sampai ke rumah.
Si perempuan menunjuk penjual buah pinggir jalan. Ia melirik Ridwan takut-takut.
"Belikan jeruk."
Menemukan lelaki di depan menautkan alis, Hanasta terpaksa melangkah duluan ke toko pinggir jalan itu. Ia beranikan diri untuk berbelanja sendiri.
Tidak sengaja tadi Hanasta melihat toko ini. Tumpukan jeruk yang besar-besar dan berwarna orange terang langsung menarik perhatiannya. Karena itu, ia ingin singgah dan membeli.
"Pak jeruknya berapa sekilo?"
Si penjual buah keluar. "Dua lima, Kak."
Hanasta menatapi jeruk itu sembari menimbang. Dua puluh lima ribu. Ambil dua kilo, lima puluh ribu. Apa ia beli setengah kilo saja? Hanasta cuma punya lima puluh ribu di saku.
"Lima belas gak bisa, Bang?" Ridwan yang baru datang ikut menawar. Lelaki itu menengok pada istrinya. "Mau berapa kilo?"
"Dua," sahut Hanasta pelan.
"Ambil dua kilo, Bang. Lima belas, ya?" Ridwan mengambil satu jeruk untuk ia periksa. "Manis ini, Bang?"
"Lima belas nggak dapat, Bang. Lapan belaslah, ya?" Penjual itu memberikan kantungan plastik pada Ridwan.
Ridwan melirik Hanasta dengan senyum bangga. Pria itu menerima plastik tadi, kemudian mulai memilih.
"Bagi dua. Satu kilo, satu kilo," kata Hanasta.
Ridwan mengangguk saja. Ia ambil satu plastik lagi. "Jeruk yang manis itu yang kulitnya jelek, kek gini." Ia bawa satu ke depan Hanasta.
"Jangan ambil yang jelek semua. Ambil yang itu juga, kulitnya licin." Tunjuk si perempuan pada buah jeruk yang kulitnya bersih dan berkilau.
Meski memasukkan buah yang Hanasta tunjuk ke plastik, tetapi mata Ridwan menyipit. "Yang manis itu yang kulitnya jelek. Ngeyel kau, ya."
"Setengah-setengah kalau gitu. Setengah yang kulitnya jelek, setengah yang kulitnya bersih," saran Hanasta mengambil jalan tengah.
Saat akan membayar, Hanasta lebih dulu mengangsurkan uang dari sakunya. Membuat lelaki di sebelahnya menatap bingung.
"Uang aku aja," jelas si perempuan pendek.
Tampak mengangguk, Ridwan menyimpan uangnya ke dompet lagi. "Banyak uangmu, ya? Judi online kau, 'kan? Kau tipu Mamak, 'kan?"
Hanasta memilih mengabaikan itu. Ia fokus menunggui si penjual buah datang membawa kembalian. Dijelaskan sampai terang pun kalau dasarnya tak mau percaya, susah juga.
Usai membeli jeruk dan hendak naik ke sepeda motor, Hanasta memberikan salah satu dari dua plastik yang ia pegang pada si suami.
"Ini kasih ke Bapak. Kita singgah bentar."
Ridwan melipat dahi. "Bapakmu?"
Hanasta mengangguk. Satu plastik berisi sekilo jeruk lagi ia pegang. "Yang ini untuk Mamak."
Mengambil yang istrinya berikan, Ridwan bertanya, "Gara-gara itu kau belinya pakai uangmu? Pikirmu kalau untuk bapakmu aku gak mau belikan?"
Menatapi tanah di bawah kaki, Hanasta bertanya, "Boleh apa enggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...