Ridwan berusaha jadi patung. Ia berpura tak mendengar. Terus-terusan menengok ke lantai, alih-alih pada Dewi, Tio atau Nurma yang sedang berbincang.
Kata ibunya, mereka ke sini cuma ingin minta maaf. Ridwan sudah berencana akan pura-pura minta maaf, kemudian pulang. Namun, lagi-lagi perempuan bernama Hanasta itu membuatnya harus terlibat masalah baru.
Ia dan Dewi tidak bertemu Hanasta. Kata Tio, gadis itu langsung pergi usai pulang dalam keadaan menangis. Lucunya, Hanasta yang badannya kurus itu tak bisa dihalangi oleh Tio dan Nurma agar tidak pergi.
Sedari tadi ketiga orang tua itu berbincang tentang ke mana kemungkinan Hanasta pergi. Namun, mereka belum mampu memastikan hingga memilih menunggu Hanasta pulang.
"Dia nggak punya teman."
Begitu kata Nurma saat tadi Dewi bertanya soal kemungkinan paling masuk akal, yakni Hanasta pergi ke rumah salah satu teman.
"Keluarga kami semua di kampung."
Itu perkataan Tio kala Dewi menyebut soal kerabat yang rumahnya paling dekat.
Sungguh, Ridwan dibuat makin tak habis pikir. Sebenarnya, mau sejauh apa Hanasta ini menyusahkannya?
Sekarang sudah gelap. Sudah pukul tujuh malam. Belum ada tanda-tanda Dewi akan mengajak pulang. Ridwan malah mendengar ibunya mencetuskan ide gila.
"Apa kita lapor polisi aja?"
Ridwan berdecak tanpa rasa sungkan. Membuat semua orang menatap padanya dengan kening berlipat.
"Dia itu udah besar, Mak. Bukan anak-anak yang gak tahu pulang," protes lelaki itu. "Lagi pula, orang hilang baru bisa dilapor ke polisi setelah 24 jam. Mamak jangan berlebihan."
Dewi menggeleng susah. "Kau kalau nggak bisa kasih solusi, mending diam. Ini semua gara-gara kau!"
"Aku pulang aja kalau gitu," timpal Ridwan penuh harap.
Tidak menyahuti, Dewi kembali berbincang dengan Tio dan Nurma.
"Tapi saya benar-benar cemas, Buk," keluh Tio dengan gerakan mata resah. "Dia jarang sekali nangis begitu. Biasanya, kalau nangis, dia cuma akan diam di kamar, kunci pintu. Bukan sampai pergi kayak begini."
Ridwan memutar bola mata mendengar itu. Tio pasti hanya membual. Berakting seperti orang tua yang khawatir pada anaknya, agar bisa lebih meyakinkan Dewi.
Dewi mungkin bisa termakan muslihat keluarga ini. Namun, tidak dengan Ridwan. Mana ia percaya Tio benar khawatir? Pria itu sampai hati memaksa putrinya menikah, kok.
"Sebenarnya, tadi itu ada apa?"
Kali ini Ridwan menaikan alis pada Tio yang memberinya lirikan tajam. Apa pria itu mau menambah rumit keadaan dengan sok membesar-besarkan masalah?
"Itulah Pak. Makanya saya ajak Ridwan kemari karena mau minta maaf. Ridwan salah paham. Dia kira Hanasta mencucikan baju saya."
Tio terdengar mendesah. "Abang masih berpikir Hanasta mau cari perhatian?" Ditatapnya Ridwan serius.
"Sepertinya begitu, Pak Tio. Sekali lagi saya minta maaf. Tadi itu, saya yang minta bantuan Hanasta menjemurkan baju, karena saya mau tungguin bubur kacang hijau."
Ibunya menatap ke sini, Ridwan memalingkan wajah.
"Bukan Hanasta yang mau jemur baju. Aku yang suruh. Kau sudah paham? Masih mau menuduh dia?"
Ridwan bungkam. Niatnya untuk memaksa Dewi mengizinkannya pulang duluan lenyap. Ia tak mau percaya kalau Hanasta tidak sedang cari perhatian. Namun, menuduh ibunya berbohong, Ridwan juga tidak berani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...