Hanasta dan Dewi sedang di dapur sore ini. Si ibu tengah makan, sedang Hanasta memarut jahe. Mulanya dua wanita itu membicarakan sinetron yang kemarin Dewi tonton di ponsel si menantu. Obrolan mengalir ke beberapa topik acak, hingga Dewi mengemukakan satu bahasan soal Ridwan.
"Dia itu sombong kayak sekarang, karena dulu kami sering diremehkan orang."
Hanasta mendengar dengan saksama. Ternyata, bukan cuma dirinya yang pernah diremehkan orang. Ia heran juga kalau ternyata Ridwan bisa membiarkan orang lain meremehkannya.
"Dulu, mamak miskin kali. Kalau nggak kerja, nggak bisa makan. Bisa makan pun, ya paling mahal ikan asin." Dewi bercerita.
"Suamimu itu dulu sering diejek anak-anak sebayanya. Dikatai nggak ada bapaknya, dijauhi, pernah dipukuli rame-rame."
"Dipukuli rame-rame?" Hanasta tampak penasaran.
Dewi mengiyakan lewat anggukkan. "Anak-anak lain sering ngejek dia dulu. Karena dari dia lahir, bapaknya nggak nampak. Waktu itu Ridwan cerita, dia bosan diejek jadi dia ngelawan. Memang kenapa kalau nggak punya bapak, kata dia sama anak-anak itu. Eh, dia malah dikeroyok karena dikira sok jago."
Sorot mata Dewi tampak sedih untuk beberapa saat. "Gitu-gitu, masa kecil dia kasihan, Hanasta. Diejek nggak punya bapak, diludahi rame-rame karena seragam sekolahnya kuning dan koyak. Dipukuli. Pokoknya, sedihlah dia itu dari kecil."
Di kursinya Hanasta mengangguk simpati. Tidak ia sangka pria angkuh dan kasar itu punya cerita hidup menyedihkan.
"Kami bisa makan enak, sekarang-sekarang ini aja. Semenjak dia bungakan uang. Tapi, ya gitulah. Mamak kadang kasihan lihat dia diomongin orang, kadang juga dimaki karena katanya rentenir kejam."
Dewi membagi senyum penuh harap pada si menantu. "Karena itu, maklumlah kalau dia bicaranya agak kasar. Tapi, kalau udah keterlaluan, kau lempar aja pakai sandal."
Hanasta tersenyum ngeri. "Kemarin aja karena kupanggil nama, dia melotot. Macam mau makan orang. Konon kulempar sandal."
Dewi cekikikan. "Bisalah kau panggil dia Abang sekarang. Gimana juga dia lebih tua darimu, 'kan?"
Tampak tidak suka, tetapi Hanasta mengangguk. Ia setuju kalau memanggil Ridwan hanya dengan nama saja adalah tidak sopan.
"Mamak udah selesai makannya?"
Dewi mengangguk. Nasi di piringnya memang sudah habis.
"Kubalur jahe, ya kakinya?"
Perempuan itu beranjak dari kursi untuk duduk di lantai. Ia perlu membalur kaki Dewi dengan air jahe karena si mertua mengaku lututnya ngilu. Di rumah mereka, Tio sering melakukan ini. Dan memang cukup ampuh untuk mengurangi pegal atau nyeri. Siapa tahu juga berefek sama pada Dewi.
Hanasta nyaris rampung mengoleskan air jahe ke kaki Dewi saat ia mendengar suara Ridwan di dapur mereka.
"Ngapain kau?"
Perempuan itu sengaja tidak bersuara atau menoleh. Ia tidak berani. Takut dikatai aneh-aneh lagi macam kejadian jemur baju sebelum mereka menikah.
"Lutut mamak agak ngilu. Kata Hanasta bapaknya sering pakai air jahe kalau pegal-pegal. Jadi, dia coba pakaikan ke kaki mamak," jelas Dewi dengan senyum semringah.
Lumayan lama pria itu tidak bersuara, Hanasta jadi penasaran. Ia mengerling pada si lelaki. Ternyata Ridwan masih di sana.
Hanasta bangkit dari lantai usai pekerjaannya selesai. Perempuan itu ke wastafel untuk cuci tangan. Di sana, ia mendengar Dewi bicara.
"Istrimu mau minta uang katanya. Nanti tanya untuk apa. Jangan kau pelit-pelit. Kasih uang yang dia minta. Ngerti?"
Perempuan di depan wastafel cukup terkejut saat mendengar Ridwan balas bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomansaDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...