Perfect Mess - Bab 17
Duduk di belakang pintu kamar kos yang terkunci, Ridwan menghisap rokok di bibir dalam-dalam. Pria itu menjauhkan sigaret itu dari mulut, lalu mengembuskan asap putih. Ia menghela napas.
Kepala Ridwan agaknya akan segera pecah. Satu sisi memikirkan desakan sang pacar yang barusan disuarakan. Setengah kepalanya sedang memikirkan keadaan Hanasta di rumah.
Beberapa saat lalu, habis mereka melepas rindu di ranjang, pacar Ridwan meminta kejelasan hubungan. Perempuan itu menuntut diberi kepastian akan dinikahi atau tidak. Katanya, jeda tidak bertemu setelah Ridwan menikah sudah sangat menyiksa dan wanita itu tak mau ini terus berlanjut.
Perempuan itu namanya Janari. Ridwan mengenalnya dua tahun lalu dan mereka menjalin hubungan sejak itu. Mulanya, Ridwan dan Janari tidak sembunyi-sembunyi. Namun, karena merasa ibunya tidak memberi restu pada si pacar, Ridwan akhirnya merahasiakan hubungan ini.
"Kenapa?" Janari yang sejak tadi berbaring sambil memainkan ponsel buka suara usai mendengar kekasihnya menghela napas beberapa kali. "Kepikiran istrimu?" sindirnya tanpa senyum.
Janari bangkit. Ia duduk di pinggir tempat tidur kecil. Ditatapnya Ridwan sinis.
"Aku tebak, sebentar lagi kamu bakal lupa sama aku."
Ridwan hanya melirik. Pria itu teruskan kegiatan merokoknya.
"Biar aku jelaskan. Dari awal, kamu yang suruh aku tunggu, Bang. Katamu, aku harus sabar, sampai ibumu setuju."
Ridwan tidak menyangkal itu. Ia memang berkata demikian dulu, saat Dewi memberikan penolakan kelewat frontal pada Janari. Ia kira, seiring berjalannya waktu, hati Dewi akan melunak. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
Tukang porot. Dewi selalu mengatai Janari demikian. Ridwan tidak heran. Kekasihnya ini memang hobi belanja. Beli pakaian, beli perhiasan, belum lagi biaya ke salon. Dan semua itu memang Ridwan yang tanggung semenjak mereka menjalin hubungan.
Ridwan tidak masalah dengan itu. Ia menganggap ini hubungan timbal balik. Ia gelontorkan sejumlah uang untuk Janari, sebagai ganti, gadis itu akan menemaninya di ranjang. Impas.
Namun, agaknya Dewi tidak setuju dengan pemikiran seperti itu. Ibunya kukuh menuduh Janari adalah perempuan tidak baik. Hanya suka uang Ridwan, tidak tulus.
Memang, masih ada perempuan yang tidak lihat uang Ridwan? Kadang Ridwan membalas begitu, tetapi ibunya malah meyakini hal sebaliknya. Sampai dua tahun berlalu, ia dan Janari tidak juga mendapat restu jadinya.
"Aku kurang sabar, Bang?" tuntut Janari lagi. "Dua tahun kita kucing-kucingan dari semua orang. Sampai sekarang, kamu udah menikah, aku masih nungguin. Aku kurang sabar, Bang?"
Lirikan Ridwan menajam beberapa saat. "Jadi, maumu apa?"
"Minimal ceraikan istrimu, Bang! Aku ini kamu anggap apa?"
Ridwan menekan ujung sigaret ke lantai sampai bara api di sana mati. "Aku gak bisa nikah samamu, kalau Mamakku gak setuju. Kurang jelas itu?"
"Kenapa?" Janari terdengar tidak terima. "Kamu itu udah dewasa. Harusnya ibumu nggak ikut campur sebanyak itu, sampai-sampai bisa melarangmu ingin menikah dengan siapa. Memang, kamu bahagia dengan istrimu yang sekarang?"
Bibir Ridwan menipis. Ingin sekali ia bertanya balik pada Janari. Memang, kalau yang dia nikahi Janari, Ridwan akan bahagia?
Meluruskan lutut yang sejak tadi ditekuk satu, Ridwan duduk bersila. "Gini aja," putusnya dengan suara tenang.
"Hubungan kita, hanya bisa sejauh ini." Ridwan terdengar tegas, meski ekspresinya tampak santai-santai saja. "Aku, sampai kapan pun gak akan bisa melawan Mamak. Dari aku kecil, yang merawat dan membesarkan aku cuma dia. Mamak bahkan pernah jadi buruh bangunan, ikut sama kelompok bapak-bapak, cuma biar aku bisa makan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
عاطفيةDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...