Duduk sendirian di ruang tengah, Hanasta mengabaikan televisi yang menyala. Perempuan itu sedang merenung, hingga tontonan lawak pun jadi tak begitu menarik. Hanasta tengah mencerna, menyadari mengapa tadi siang ia semarah itu pada Ridwan, hanya karena soalan kaus.
Tumbuh dengan pemikiran bahwa pernikahan itu menyeramkan, bukan Hanasta tak pernah punya tipe suami ideal. Bagaimana juga, ia perempuan normal yang terkadang suka mengkhayalkan masa depan.
Suami idaman bagi Hanasta adalah pria yang dewasa. Bukan cuma di usia, tetapi di pemikiran, terlebih di sikap. Hanasta pernah mendamba akan punya suami yang nantinya bisa mengayomi, mengajari dan merangkulnya dalam tiap keadaan.
Misal, kalau Hanasta sedang berpikiran buruk, si lelaki itu akan bisa menenangkan, memberinya penjelasan, pengajaran yang nantinya mampu mengubah pemikiran sempit Hanasta menjadi lebih luas. Hanasta butuh laki-laki yang bisa membuatnya merasa baik-baik saja di semua keadaan.
Sesuatu yang tidak si perempuan dapatkan dari Ridwan.
Di awal perkenalan, pria itu bahkan sudah menghinanya. Menghardiknya habis-habisan, sampai Hanasta merasa tidak lagi punya harga diri. Padahal, Ridwan tidak tahu yang sebenarnya. Jelas Ridwan bukan pria yang bisa membuatnya merasa baik.
Kemudian, kejadian tadi siang. Dari perdebatan mereka, Hanasta jadi sadar kalau sikap suka pamer Ridwan itu terbentuk karena luka yang dimiliki si lelaki. Hal ini diperkuat oleh cerita Dewi kalau dulu Ridwan memang kerap mendapat cemooh karena tidak punya ayah dan juga kurang mampu.
Hanasta sadar kalau ia dan si suami sama. Mereka sama-sama terpengaruh sikap dan penilaian dari orang lain, hingga memilih untuk menjadi seperti yang orang lain inginkan, atau di kasusnya Hanasta, perempuan itu memilih menghindar, melarikan diri.
Kesamaan inilah yang menjadi alasan kenapa tadi Hanasta begitu kesal pada Ridwan. Lelaki itu tidak berhasil memenuhi ekspektasi Hanasta soal pendamping idaman.
Berhasil menyadarinya malam ini, Hanasta jadi malu. Kenapa ia berharap Ridwan akan sama seperti yang ia mau? Kenapa juga ia harus mencampuri cara pikir pria itu? Kan Hanasta jadi susah sendiri.
Mendesah pelan, perempuan itu menoleh pada layar ponsel yang menyala. Ada satu pesan masuk dari Ridwan. Pria itu memberi kabar kalau Dewi sudah menghubungi untuk memberitahu kalau malam ini menginap di rumah teman dan tidak akan pulang.
Makin ditekuk wajah Hanasta sesudah membaca pesan itu. Sudah suasana hati sedang kacau, Dewi malah tidak pulang. Terpaksa ia harus berdua saja dengan Ridwan nanti.
***
Ridwan sudah di warung kopi ini sejak sore. Habis melayat, pria itu pulang untuk mengambil motor, lalu datang ke sini. Ia malas di rumah karena emosi dirasa tidak stabil.
Sore tadi warung ini lumayan ramai. Pukul dua belas malam, satu per satu pelanggan mulai pulang. Ia tinggal seorang diri, ketika hampir pukul satu dan Tio datang.
Dua orang itu duduk semeja. Menghabiskan tuak masing-masing, tidak terlibat konversasi apa pun selama setengah jam. Ridwanlah orang yang duluan buka suara. Itupun, karena ia ingin pamit pulang. Namun, pertanyaan basa-basi yang dilontarkan malah merembet ke sebuah percakapan yang serius.
"Hanasta sehat?" Begitu Tio memulai. Pria itu memutar-mutar gelas di meja.
Ridwan mengangguk saja. Ia terpaksa duduk lagi.
"Masih sering kumat asam lambungnya?"
"Beberapa kali," sahut Ridwan.
Tio tersenyum getir. "Dulu, saya kira dia kena asam lambung karena jarang makan. Ternyata, karena pikiran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...