Bab 22

620 68 3
                                    

Hari ini Ridwan pulang tanpa sepeda motor. Kendaraan pria itu ditinggal di bengkel karena perlu perbaikan. Mungkin, karena tidak membawa motor orang di rumahnya tidak sadar dia pulang.

Pintu rumah tidak dikunci. Ridwan tidak jadi menyapa sang ibu karena mendengar suara tawa wanita itu. Langkahnya perlahan masuk.

Dua perempuan di depan televisi itu tidak menoleh. Ridwan kembali mendengar Dewi tertawa. Pria itu menunda menunjukkan diri.

"Itu enggak masuk akal, Mak!"

Ridwan menaikkan kedua alis saat mendengar istrinya merengek.

"Masak nenek itu asik nembakin pistol ke atap, tapi atapnya enggak bocor dan rubuh? Enggak masuk akal."

Ridwan melihat istrinya berbaring di atas ambal ungu yang sebelumnya ada di kamar, dengan paha Dewi sebagai bantal. Perempuan itu bergerak ke kiri dan kanan, persis macam anak kecil tantrum.

"Mak, tukaar."

Ridwan kembali mendengar suara tawa ibunya. Pria itu sampai berkedip cepat beberapa kali karena begitu terkejut. Sudah berapa lama ia tidak mendengar Dewi tertawa lepas begitu?

"Nanti dulu, Hanasta. Lagi seru ini. Udah mau terbongkar rahasia si jahat itu."

"Enggak ada itu. Pasti nanti digagalkan lagi sama si jahat. Tukar aja, Mak. Enggak enak nonton sinetron india."

"Diam dulu, Hanasta. Udah mau datang anak mudanya ini."

Dewi kembali terpingkal, Ridwan tak bisa menahan senyum saat mendengar Hanasta bicara tak jelas sebab mulut gadis itu sudah dibekap tangan Dewi.

"Ah, tadi katanya gantian! Aku enggak dikasih nonton berita."

Ridwan melihat istrinya bergeser ke dekat dinding. Berbaring rapat ke sana, memunggungi Dewi, sepertinya sedang merajuk.

"Nanti kalau iklan mamak tukar. Kau bisa nonton berita, ya?" Dewi terdengar membujuk.

"Enggak ada itu!" protes Hanasta. "Nanti iklan, Mamak nonton sinetron yang selingkuh-selingkuh. Aku enggak jadi-jadi nonton."

Dewi menepuk-nepuk punggung si menantu. "Kalau gitu, tidur aja kau." Tawanya berderai lagi.

Ridwan merasai hatinya lega luar biasa. Selama ini, meski sudah mencukupi semua materi, ia nyaris tak pernah mendengar ibunya sesenang sekarang. Padahal, wanita itu bukan habis diberi yang atau barang mahal oleh Hanasta. Ibunya hanya diajak bertengkar karena rebutan menonton.

Kenapa Ridwan jadi malu?

Pria itu berjalan semakin masuk. Ia hendak menuju dapur saat Dewi sadar akan kehadirannya.

"Loh, udah pulang?" tanya wanita itu basa-basi.

Ridwan mengangguk saja. Pria itu pergi ke kamar untuk mengambil handuk dulu. Keluar dari sana, ia mendengar istrinya yang bertanya.

"Enggak ada suara kereta tadi," kata perempuan itu tanpa menoleh atau balik badan.

"Keretanya rusak, di bengkel," jelas Ridwan pada Dewi yang menoleh.

Ibunya mengangguk lalu lanjut menonton, Ridwan pergi mandi. Usai membersihkan diri, pria itu makan. Setelahnya, baru ikut bergabung di ruang tengah.

Dewi masih asyik menonton, sementara Hanasta sudah tak lagi protes. Agaknya, perempuan itu sudah benar-benar tidur.

"Sini, nonton." Dewi menarik lengan anaknya agar mendekat.

Wanita itu menjelaskan apa yang sedang ditonton, Ridwan mengangguk saja. Sesekali matanya melirik pada kaki Hanasta. Celana panjang perempuan itu tersingkap sampai betis.

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang