Pagi ini Ridwan bangun lebih awal. Saat ia sudah cuci muka dan kembali ke kamar untuk memakai handuk, istrinya masih lelap. Akhir-akhir ini, semenjak ikut membantunya menagih, Hanasta memang tidur lebih awal, dan akan bangun belakangan.
Mulanya protes, tetapi Ridwan tidak bisa banyak bicara setengah bulan terakhir. Sejak Dewi marah karena Hanasta sempat demam parah di seminggu setelah ia pekerjakan.
Tidak terasa, sebulan sudah berlalu. Usai menyeka wajah basahnya dengan handuk, Ridwan menatapi si istri. Kalau mau jujur, ia juga takjub Hanasta bisa bertahan sejauh ini.
Demam, sakit kepala, pernah jatuh dari sepeda motor dan banyak kejadian lain yang sudah perempuan itu hadapi. Ridwan sempat mengira kalau Hanasta akan menyerah. Namun, keras kepala istrinya itu menular juga ke semangat juangnya.
Mendekat ke tempat tidur, Ridwan menarik selimut dari pelukan Hanasta. "Hanasta," panggilnya berusaha membangunkan.
Hanasta berbalik, memunggungi. Tidur lagi agaknya.
"Hanasta! Gak mau gajian kau?"
Si perempuan langsung bangkit duduk. Matanya yang tertutup tampak berusaha terbuka.
"Gajian?"
Ridwan berdeham. "Mau?"
Lelaki itu mengambil amplop coklat dari tas pinggang di meja. Ia sudah siapkan ini sejak kemarin. Diberikannya itu pada Hanasta.
Si perempuan mengucek mata beberapa saat. Ketika pandangannya sudah jernih, ia keluarkan isi amplop untuk dihitung.
"Dua juta?" tanyanya bingung.
Ridwan mengangguk saja. "Anggap aja bonus sama kompensasi karena kau jatuh kemarin."
"Udah dipotong yang waktu itu aku pakai beli sate?"
"Hm."
Hanasta tersenyum kecil. Perempuan itu melompat turun dari tempat tidur. Ia berlari keluar.
"Mak, aku gajian!" teriaknya sambil menghampiri Dewi.
Ridwan ikut keluar dari kamar. Ditemuinya Hanasta sedang heboh menanyai Dewi ingin dibelikan apa. Dasar amatiran, batinnya. Baru dapat uang sedikit saja sudah mau membelikan macam-macam.
Ridwan masih ingin menontoni Hanasta, ketika ponselnya berdering. Pria itu kembali ke kamar untuk menjawab panggilan yang ternyata dari Janari.
Ekspresi wajah Ridwan langsung masam saat menempelkan ponsel ke telinga.
"Bang, kita jadi jalan-jalan nanti sore, 'kan?"
Belum sempat Ridwan menjawab, dari luar kamar terdengar suara Hanasta.
"Kita pergi sore, ya? Aku pulang kerja, langsung jemput Mamak."
Lelaki itu langsung diliputi rasa ingin tahu. Mau ke mana perempuan itu bersama Dewi?
"Besok aja, Janari," putusnya memberi jawaban pada Janari di ujung telepon.
"Kok besok? Abang bilang mau temani aku belanja sore ini!"
"Aku bisanya besok," balas lelaki itu malas. "Kalau kau mau pergi nanti sore, pergi sendiri." Ia tutup sambungan telepon, kemudian menyusul Hanasta dan Dewi di ruang tengah.
***
"Rambutmu ini, ya!"
Protes itu Ridwan suarakan sambil mengambil sejumput rambut Hanasta yang tergerai.
"Bisa kau ikat? Terkejut aku, kukira setan yang lagi cuci piring!"
Tadi itu, Ridwan yang baru bangun pergi ke dapur untuk minum dan cuci muka. Ia melihat sosok dengan rambut panjang sepunggung berdiri di depan wastafel, ia hampir tiada karena mengira baru melihat setan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...