Hanasta tidak tahu ayahnya kerasukan apa. Sudah sengaja selalu menghindari bertatap muka, sudah sengaja terus-terusan di kamar agar tak diajak bicara soal wanita bernama Dewi itu. Namun, ayahnya seolah pantang menyerah.
Hari ini, pria itu kembali membahasnya. Bahkan, Tio berani memaksa Hanasta agar menyisihkan waktu bertamu ke rumah Dewi. Hanasta sudah menolak, berkata tidak sempat, tidak mau dan tidak berminat bertemu Dewi. Namun, lagi-lagi ayahnya bebal.
"Sebenarnya, tujuan Bapak melakukan ini apa?" Hanasta bertanya sambil menatapi gelas di hadapan.
Gadis itu mau mengambil air minum di dapur tadinya. Ia tidak mengira kalau ayahnya ada di rumah, karena itu tak sempat menghindar.
"Aku menjodohkan kau dengan dia," jawab Tio tanpa basa-basi. "Buk Dewi itu setuju. Kami mau menjodohkan kalian."
Mata Hanasta mulai dihiasi sorot penuh kemarahan. Enak sekali ayahnya mengaturkan perjodohan? Memang Hanasta sudah setuju?
"Aku enggak mau," tolak Hanasta tegas.
"Harus mau!" sergah Tio.
"Kenapa aku harus mau? Memang aku kambing yang enggak butuh persetujuan waktu mau dikawinkan?" Hanasta ikut menaikkan nada suara. Ia ingin ayahnya mengerti kalau kini dirinya serius dan sudah cukup muak dengan semua ini.
Tio terdiam beberapa saat. Hanasta kira ayahnya sudah mengerti. Namun, saat pria itu akhirnya buka suara lagi, Hanasta dibuat terhenyak dengan perasaan kalah.
"Kau harus mau. Anggap aja ini bentuk balas budimu ke orang tua."
Seketika Hanasta merasa sangat kecil dan tak berdaya. Nuraninya sebagai anak yang sadar diri belum bisa membahagiakan orang tua membuat perempuan itu merasai kebas di dada.
Hanasta sadar belum bisa memberikan apa-apa pada orang tuanya. Hanya lulusan SMA, sampai saat ini pun ia belum bisa punya penghasilan tetap, apalagi cukup untuk memberikan hal-hal berarti buat ayah dan ibu.
Bahkan, karena tidak punya penghasilan tetap untuk bisa diandalkan sebagai sumber pemasukan, Hanasta kadang masih bergantung pada orang tua soal urusan makan. Lebih-lebih, ia masih menumpang di rumah ayah dan ibu. Maka, diungkit seperti tadi oleh Tio, Hanasta langsung tidak bisa memberi bantahan apa-apa.
Gadis itu tertunduk dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa sangat tak berguna sekarang. Ia tidak lebih dari sekadar beban keluarga, yang memang sudah harusnya melakukan sesuatu sebagai bentuk balas budi.
"Besok, pergi ke rumah Dewi. Nggak usah bawa apa-apa, datang saja. Harusnya kau bersyukur karena dia suka padamu. Setidaknya, jalanmu akan lebih mudah untuk jadi istri anaknya."
Ayahnya sudah akan meninggalkan dapur, Hanasta memberanikan diri memberi pertanyaan.
"Kalau aku setuju, Bapak dapat apa memangnya dari dia?"
Kalau sampai ini disebut sebagai balas budi, artinya Tio akan mendapat timbal balik yang lumayan. Apa itu? Hanasta penasaran.
Tio menatap anaknya lekat. Pria itu sempat terlihat sedih, sebelum akhirnya menampilkan air muka yang tegas lagi.
"Utangku ke Ridwan lunas. Pun, Buk Dewi akan kasih modal supaya aku bisa jualan," jelas Tio jujur.
Mendengar itu, Hanasta tersenyum getir. Ternyata itu imbalannya. Pantas ayahnya setuju.
"Rumah ini akan selamat, nggak jadi disita Bang Ridwan, kalau kalian benar-benar jadi menikah," tambah Tio. "Jadi, bersikap baiklah. Hidup kita akan berubah kalau perjodohan ini sukses."
Hanasta mengiyakan perkataan Tio itu dalam hati. Hidup mereka memang akan berubah kalau sampai ia jadi menikah dengan si rentenir. Hidup ayahnya akan jadi lebih baik, sementara hidupnya akan jadi lebih kacau. Dan seperti biasa, orang tuanya mana mau peduli apa yang Hanasta alami. Selagi ayah dan ibunya senang, mau Hanasta jungkir balik sekali pun, mereka tak akan ambil pusing.
***
Susana hati sedang kacau karena tadi sempat cekcok dengan Tio, sekarang Hanasta masih harus melihat sesuatu di ponsel, yang berhasil membuat ujung mulutnya jatuh, semangatnya makin habis dan dada makin kebas.
Gadis itu baru saja membaca postingan salah satu kenalan di media sosial. Di sana dipampang sebuah gambar tangkapan layar yang menampilkan nominal gaji yang diterima si pemilik akun bulan ini.
Sungguh, Hanasta rasanya sakit hati melihat jumlah uang di foto tadi. Sekitar empat ratus, dalam mata uang dolar. Bayangkan berapa banyaknya itu?
Hanasta marah. Ia tak terima. Ia merasa dunia tak adil.
Pemilik akun itu sama seperti dirinya. Penulis novel online, Hanasta menyebutnya. Tugasnya membuat cerita novel, fiksi, lalu diunggah ke platform menulis untuk nantinya bisa dibaca dan dibeli pembaca.
Ia dan pemilik akun itu punya pekerjaan yang serupa. Hanasta tahu karena beberapa kali mereka sering saling menandai akun kalau ada lomba. Namun, penghasilan yang mereka punya sungguh jauh berbeda.
Hanasta menekuni hobi membuat novelnya sejak lulus sekolah. Mulanya hanya ingin mengisi waktu luang karena tak kunjung dapat pekerjaan tetap. Namun, saat tahu kalau hobi itu bisa menghasilkan uang, Hanasta pun mulai serius menggelutinya.
Tidak mudah. Hanasta tak langsung berhasil menjual karyanya. Butuh waktu bertahun-tahun hingga ia bisa seperti sekarang. Namun, penghasilannya sekarang pun masih juga belum sebanyak yang salah satu akun tadi pamerkan.
Padahal, setahunya pemilik akun tadi itu baru dua tahun terjun ke dunia tulis. Namun, lihatlah penghasilannya dalam sebulan. Pendapatan Hanasta setahun saja tidak bisa dibandingkan dengan itu.
Ini tidak adil. Kenapa bisa nasibnya dan orang tadi amat timpang? Padahal, Hanasta sudah memberikan semua yang ia punya. Waktu, tenaga, pemikiran dan segalanya.
Ia juga rajin mencari tahu cerita apa yang sedang laku di pasar demi membaca peluang. Niatnya agar karyanya bisa cepat laku. Namun, setelah semua upaya itu, dirinya masih di sini-sini saja. Dibandingkan dengan penulis baru tadi, ia bahkan kalah telak.
Mana yang salah? Apa yang kurang? Hanasta tak tahu. Ia juga tak mau repot mencari tahu sekarang. Sebab kini hati telanjur dikuasasi iri dan cemburu.
Kalau saja nasibnya bisa seperti pemilik akun yang mendapat gaji ratusan dolar tadi. Bayangkan kalau tulisan-tulisannya bisa mendapat pencapaian semacam itu. Maka, Hanasta tak perlu menuruti kemauan ayahnya.
Kalau uangnya banyak, Hanasta bisa membantu ayahnya melunasi utang. Kalau ia jadi penulis yang terkenal dan karyanya banyak dibaca orang, maka Hanasta akan hidup serba berkecukupan dan mungkin akan bisa menyewa rumah sendiri, tidak lagi menumpang pada ayah dan ibu. Tidak harus menjadi beban, tak perlu menuruti soal tuntutan balas Budi yang Tio gaungkan kemarin.
Masih menatapi layar ponsel di tangan, Hanasta berpikir keras. Ia jadi ingin tahu, sebenarnya cerita seperti apa yang bisa menghasilkan uang sebanyak yang ditunjukkan tadi?
Hanasta mengetuk layar ponsel. Ia periksa profil akun tadi untuk mengintip cerita yang dipunya. Ditemukannya satu postingan berisi salah satu bab dari cerita si author.
Hanasta membacanya. Emosi negatif yang bercokol di dada membuat perempuan itu menilai kalau cerita tadi biasa saja. Ia juga pernah membuat cerita dengan tema serupa atau dengan jenis karakter yang sama. Namun, kenapa hasilnya tidak sama?
Apa karena akun tadi sudah punya ribuan pengikut? Jadi, jangkauan ceritanya jauh lebih banyak? Apa itu cara agar punya lebih banyak pembaca?
Kalau benar begitu, jelas Hanasta kalah. Ia tak punya seribu lebih pengikut di akun media sosialnya. Pasti, karena itu ceritanya tak ditemukan dan berakhir tak bisa memberi penghasilan sebanyak cerita author dengan gaji ratusan dolar tadi.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara agar bisa punya pengikut media sosial sebanyak itu? Apa yang harus Hanasta lakukan agar jumlah pengikutnya di media sosial bisa menyamai si pemilik akun tadi?
…
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...