"Gak ada sarapan?"
Pertanyaan itu Ridwan suarakan usai duduk di kursi makan dan melihat telur dadar di meja. Lelaki itu meneguk air, matanya melirik si istri tajam.
"Hanasta," panggilnya saat Hanasta masih sibuk menyendok nasi ke piring, terlihat tidak berniat memberi penjelasan.
"Ini sarapan," tutur Hanasta lugas.
Perempuan itu memindahkan sepotong telur ke piringnya, kemudian berbalik untuk pergi. Ridwan cekatan menangkap lengan si istri.
"Bisa gak kalau orang ngomong kau dengar?" Lelaki itu berdiri. Matanya menyipit.
Dahi Hanasta berlipat tidak paham. "Aku jawab. Ini sarapan." Perempuan itu berusaha menarik lepas tangannya dari Ridwan, piring di tangan kanan ia taruh di meja.
"Cuma telur?"
Kepala Hanasta menghadap piring berisi telur dadar. "Di rumah cuma ada telur. Kulkas kosong."
"Bukannya uang kau yang pegang?"
"Uang apa?" Hanasta memutar pergelangan tangan, berharap cekalan Ridwan di sana lepas.
Ridwan mengurai lipatan di dahi. Ia baru ingat kalau uang belanja masih disetor pada Dewi. Dewi sedang pergi, artinya Hanasta tak bisa belanja. Lelaki itu pun meninggalkan dapur. Tangannya masih memegangi Hanasta, hingga perempuan ikut ke kamar.
Dengan tangan yang bebas Ridwan mengambil uang dari tas pinggang. Ia berikan pada Hanasta. "Ini jatah belanja seminggu. Pergi belanja. Aku gak bisa sarapan pakai telur."
Berhenti menarik-narik tangannya, Hanasta menyatukan alis ke arah lantai. "Kau bisulan?"
Si lelaki berdecak. Ia yang kesal karena sedari tadi tidak ditatap, pun diberi pertanyaan seolah mengejek, nekat menarik dagu si istri. "Tengok muka orangnya pas kau ngomong," protesnya sambil menggigit bibir.
Hanasta mengerutkan hidung, menjauhkan dagunya dari tangan Ridwan. "Enggak usah pegang-pegang!"
Diteriaki Hanasta untuk pertama kali, Ridwan sempat melebarkan mata. Ia jauhkan tangan dari wajah si istri. Lelaki itu baru tahu kalau istrinya bisa menaikkan nada.
"Lihat orangnya pas kau ngomong. Pergi belanja."
"Enggak mau. Kau yang belanja."
Tadinya ingin melepaskan tangan Hanasta, Ridwan jadi urung melakukannya karena jawaban itu.
"Kenapa aku yang belanja? Itu tugas mamak-mamak."
"Aku bukan mamak-mamak," bantah si perempuan.
Ridwan memutar bola mata. Bantahan itu tidak sepenuhnya salah. Hanasta memang belum punya anak, jadi bisa dibilang belum cocok dipanggil mamak. Namun, ia mana mau setuju.
"Belanja itu tugas perempuan," ralatnya halus.
Kepala Hanasta menggeleng. "Aku enggak mau. Kalau kau mau sarapan yang selain telur, pergi belanja."
Tidak senang dibantah, Ridwan makin mengeratkan cengkeraman di tangan Hanasta. Lelaki itu melotot. "Belanja itu tugasmu. Jangan bikin aku marah. Cepat pergi. Aku udah lapar."
Tampak merapatkan bibir, Hanasta menekuk lutut. Ia berjongkok di depan Ridwan, membiarkan tangannya masih dipegangi si suami.
"Hanasta."
"Enggak mau. Aku enggak mau ke warung." Kerjapan mata gadis itu tampak gusar.
Ridwan melepaskan tangan gadis itu. Ia kembali memberi perintah, Hanasta sama sekali tidak berpindah dari tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Mess
RomanceDipaksa jadi penebus utang orang tua, Hanasta bisa berlapang hati kalau pria yang dinikahkan dengannya adalah seorang bos besar sebuah kerajaan bisnis, punya sifat dingin, tak tersentuh, dan tentu saja tampan. Namun, malang. Hanasta malah harus menj...