Bab 28

1.7K 144 5
                                    

Ridwan sudah duduk di teras sejak pukul setengah lima. Sengaja pria itu pulang lebih cepat daripada biasa. Sekarang sudah pukul enam, langit sudah mulai gelap, tetapi istrinya belum juga menampakkan batang hidung.

Ia sudah periksa ponsel. Tak ada panggilan, tidak ada pesan masuk. Apa Hanasta lupa cara menelepon?

Menggoyang kaki tak sabar, Ridwan melihat Dewi datang. Ibunya ikut duduk di kursi plastik satunya.

"Kok lama si Hanasta, Ridwan? Udah gelap ini. Apa dia nyasar?"

Ridwan mengigit bibir. Ia makin gusar. Otaknya makin membayangkan hal tidak-tidak. Bisa jadi tebakan Dewi benar.

Bisa bahaya kalau sampai itu benar. Bayangkan, manusia yang sehari-harinya hanya di kamar, tiba-tiba tersesat di luaran sana. Ridwan berdebar takut membayangkan perempuan cengeng dan lemah itu diganggu tukang palak atau bertemu begal.

Untung tak lama setelah itu pagar bergerak. Sepeda motor Hanasta masuk, lalu berhenti di depan teras.

Ridwan menajamkan pandangan, mengamati perempuan yang tengah melepas helm itu saksama. Wajah Hanasta utuh, walau terlihat sedikit kusam dan lelah.

Istrinya itu turun dari sepeda motor. Duduk di lantai teras, kemudian buka sepatu.

"Kenapa lama, Hanasta?" Dewi yang menyuarakan tanya lebih dulu.

"Tadi pas pulang lupa jalan, Mak." Perempuan itu melepas tas pinggang. Mengeluarkan uang dan buku dari sana untuk diberikan pada si suami.

"Lengkap, enggak ada yang absen," lapornya.

Ridwan mengangguk. Pura-pura memeriksa, ia mencuri lihat ke arah si perempuan. Namun, itu hanya bisa dilakukan sebentar, sebab Hanasta sudah buru-buru masuk.

"Lapar, Hanasta?" Suara Dewi yang mengekori ke dalam terdengar.

"Mau mandi dulu."

Ridwan ikut masuk. Ia pergi ke kamar untuk melakukan perhitungan dan menyimpan tas pinggang milik Hanasta. Saat ia keluar, si perempuan sudah berbaring di ambal. Di dekat dinding, telungkup ke arah dinding itu.

"Capek, Hanasta?" Dewi yang duduk di samping mengusapi punggung si menantu.

"Punggungku kayak mau patah," keluh Hanasta. "Biasa seharian baring terus, sekarang seharian harus duduk. Pegal."

Ridwan ikut-ikutan duduk.

"Nggak lapar kau?" ulang Dewi untuk kesekian kali. "Mamak buatkan, ya?"

"Nanti aja aku ambil. Mau luruskan punggung dulu."

Dewi memilih menonton, Ridwan pergi ke luar untuk memasukkan sepeda motor milik Hanasta. Saat akan menutup pintu, pria itu melihat sepasang sepatu punya si istri. Kalau tidak ingat harga sepatu itu, mana mau Ridwan keluar lagi untuk mengambil dan menyimpannya?

"Sepatu harga setengah juta dipakai ngutip. Hanasta, Hanasta," sungut pria itu sambil menaruhnya ke rak sepatu.

Sudah satu jam berlalu. Ridwan tak melihat istrinya bangkit untuk makan. Mengalihkan fokus dari tontonan televisi sebentar, ia menggeser duduk ke dekat Hanasta.

"Heh, gak makan kau?" Pria itu menekan-nekan punggung tangan si perempuan di atas ambal dengan telunjuk.

Dewi menoleh. "Capek kali kayaknya. Biar aja tidur dulu. Nanti kalau lapar dia pasti bangun."

"Kerja satu hari capeknya udah kaya kerja rodi," ejek Ridwan.

"Ambilkan selimut sana," suruh Dewi sembari kembali menonton.

Ridwan pergi ke kamar. Ia ambil selimut dan bantal sekalian. Lelaki itu pakaikan selimut pada istrinya. Bantal tadi ia taruh di belakang Hanasta, karena takut kalau menyelipkannya di bawah kepala, si gadis akan bangun.

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang