Bab 7

564 52 0
                                    

Semua ini demi Dewi.

Ridwan sampai repot-repot datang ke rumah Hanasta, mengembalikan ponsel gadis itu. Semata-mata karena ibunya. Kalau bukan, tak sudi pria itu menginjak rumah Tio ini.

Saat tiba, Ridwan menemukan pintu rumah itu tertutup. Si lelaki mengumpat seraya turun dari motor. Ia ketuk pintu dengan tidak sabar.

"Hanasta!"

Geram karena ketukannya tak kunjung ditanggapi, Ridwan mulai menggedor. Ia juga memanggil si pemilik rumah. Sepertinya keadaan ini sama dengan terakhir kali ia datang untuk menagih utang.

"Hanasta, hapemu!" teriak pria itu mulai hilang kesabaran. Biar udara malam ini dingin, tetapi ubun-ubunnya panas karena letupan amarah.

Masih tak ada sahutan dari dalam, Ridwan memutar otak. Dilihatnya ada jendela di sisi kanan rumah. Ridwan coba buka jendela itu dan beruntung, itu tidak dikunci.

Ia masukkan lengan ke celah antar jeruji. Jendela ini rendah, hingga tangan Ridwan bisa mencapai lantai. Ia taruh ponsel Hanasta di sana.

"Merepotkan," gerutu pria itu sembari meninggalkan teras rumah Hanasta. Tak membuang waktu, ia naik ke sepeda motor, kemudian pulang.

Sepanjang jalan menuju rumah, Ridwan masih menggerutu. Ia juga berencana akan menemui Tio sehabis ini. Ia pastikan lelaki itu akan menarik kembali ide gila soal perjodohannya dengan Hanasta.

Selain itu, Ridwan juga akan cari tahu dari mana ibunya bisa mendapat kabar soal hubungannya yang selama ini ditutupi dari semua orang. Ridwan sungguh heran. Apa ibunya punya kekuatan cenayang? Atau, wanita itu mendengar dari orang? Kalau dari orang, siapa kiranya yang sudah menjadi pengadu itu?

Ridwan mendapati ibunya ada di teras ketika sampai di rumah. Wanita itu langsung bangkit dari kursi dan mendatanginya.

"Kau udah minta maaf?"

Ingin sekali Ridwan mengangguk. Namun, dia bisa apa? Sedari kecil hanya punya Dewi di hidupnya, Ridwan tak berani menipu wanita itu.

"Rumahnya kosong. Gak ada orang."

Dewi menyipit curiga. "Nggak ada orang gimana? Hanasta pergi ke mana?"

Si anak mengangkat bahu tak peduli. "Pokoknya, aku udah gedor pintu, tapi gak ada orang nyahut. Hapenya aku masukkan dari jendela."

Dewi terdengar berdecak. Wanita itu menepuk pundak si anak. "Kau memang keras kepala. Hanasta itu nggak mungkin pergi-pergi. Apalagi, ini udah malam. Ayo ke sana. Kau harus minta maaf malam ini juga."

Kali itu Ridwan sudah tidak tahan. Pria itu protes. "Mak!" serunya tak senang. "Aku itu capek habis pulang kerja. Kenapa aku harus pusing sama hal kek ginian?"

"Apa aku suruh kau kasar macam tadi sama Hanasta? Ini semua salahmu. Kau capek karena ulahmu. Jangan banyak cerita. Kita ke rumah Hanasta sekarang."

Ridwan menekuk wajah ketika ibunya keluar dari dalam rumah dengan jaket terpasang di tubuh. Wanita itu mengunci pintu mereka dari luar, lalu naik ke jok motor.

"Cepat jalan," perintah wanita itu.

Terpaksa, Ridwan menurut. Ia nyalakan kembali si kuda besi, kemudian menjalankannya untuk menuju rumah Hanasta. Sungguh, di perjumpaan pertama ini Ridwan resmi mengatai Hanasta sebagai sumber masalah baru di hidupnya.

***

Serupa dengan tadi, meskipun Ridwan mengetuk pintu rumah Hanasta puluhan kali, tak ada satu pun sahutan yang diterima. Melirik kesal pada ibunya yang terus memerintahkan untuk mengetuk, lelaki itu mengetatkan rahang.

Perfect Mess Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang