28. MAAF

1.7K 36 52
                                    

Happy reading 🌈🍭

"Gue heran, ini Fay anaknya kemana sih?" tanya Shena yang saat itu sedang duduk di kantin bersama Winola.

Winola yang sedang menyeruput minumannya, hanya mengendikkan bahunya. "Guru ngga ada yang ngomong juga."

Tak lama, dari arah pintu kantin mengundang atensi mereka dengan kedatangan inti Omorfos. Terlebih di sana juga tidak terlihat keberadaan dari sang ketua.

"Hai, neng-neng geulis. Sendirian aja," Jiro mengedipkan matanya sebelah sembari mengambil posisi duduk di samping Shena.

Shena hanya tersenyum tipis. Alah, sok malu-malu. Winola yang melihatnya hanya memutarkan bola matanya.

"Kita boleh duduk di sini, kan?" tanya Jiro.

"Bukannya dari tadi udah duduk, ya?" sindir Winola secara terang-terangan.

"Win!" Mata Shena melotot. Tangannya memegang lengan Winola dengan erat--terkesan mencengkeram.

"Basa-basi dul--

"Basi yang ada," celetuk Winola dengan santai.

"Sensi banget, Neng. Santai dong," Jiro mengangkat kedua tangannya, seolah tanda menyerah.

"Kalian cuma berdua?" tanya Owen.

"Hm. Fay ngga ada kabar, tau tuh kemana."

Pernyataan dari Shena, mengundang tanda tanya dari inti Omorfos. Mereka berempat saling bertatapan.

"Kenapa? Kalian tau?" Shena bertanya kepada mereka.

"Ketua kalian mana, Kak?" Lagi pertanyaan dari Shena membuat mereka bungkam.

"Ngga tau tuh. Orang sibuk biasa. Iya kan?" Alibi Elard, kemudian dia memberi kode agar diiyakan.

Akhirnya Natha, Jiro, dan Owen mengangguk, meskipun dengan gerakan kaku.

"Udah coba ditelfon?" tanya Natha tiba-tiba.

"Udah. Berkali-kali malah, Kak. Rencana mau coba dateng ke rumahnya,"

Natha hanya mengangguk singkat mendengar informasi dari Shena.

Kring!

Bel tanda masuk telah berbunyi kembali. "Eh, masuk. Kita duluan ya, Kak," pamit Shena tak lupa dengan senyuman khasnya.

Setelahnya dia menarik lengan Winola buru-buru.

"Si Fay ngga berangkat juga. Ada apa nih?" kata Jiro kepada yang lain.

"Bos juga ngga ngangkat telfon lagi," ujar Elard.

"Mereka ngga kenapa-napa," ucap Natha, membuat mereka menatapnya.

Jiro memicingkan matanya pada Natha. "Kok lo kaya tau sesuatu?"

"Lo nge-raguin, Aghavan?" Natha berbalik tanya, membuat sang empu gelagepan.

Jiro menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari menyengir khas. "Hehe ... Ya engga sih, nanti dipenggal kepala gue."

"ITU YANG MASIH DUDUK! CEPET MASUK!"

Teriakan khas guru BK, membuat keempatnya menoleh.

"Cabut! Ada guru plontos!" kata Jiro sedikit keras.

"JIRO! SAYA DENGAR YA! BERSIHKAN WC SEKARANG!"

"KABUR!"

Jiro dan yang lainnya langsung berlari menjauh, setelah melihat guru plontos itu mulai mendekati mereka. Jangan lupakan, dengan tongkat dari bilah kayu, yang menjadi ciri khasnya.

•••••

Saat ini waktu menunjukkan pukul sepuluh siang. Tentu saja, sinar matahari hampir di atas, tegak lurus. Udara panas khas, sudah membaur dengan angin.

Sebuah kamar, menampakkan penghuninya yang mulai membuka matanya. Mengerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya alam.

Sosok tersebut memegang kepalanya, merasakan pening yang mendera kepalanya.

"Eungh," Lenguhnya pada diri sendiri.

Dia mencoba bangun dari tidurnya, merubah posisinya sembari mengamati ruangan yang berbeda dari biasanya.

Sebelumnya, dia melihat seseorang yang sedang berdiri di balkon. Terlihat pula kepulan asap. Dia mengira bahwa lelaki itu sedang merokok.

Tanpa diketahui dirinya, sebenarnya sesosok yang telah menjadi lelaki tersebut, sebelumya telah beberapa kali menilik ke dalam kamar tersebut. Sesekali, menyasap barang bernikotin tersebut.

Di sebuah balkon, sembari menerawang segala perbuatan dan mungkin, banyak kesalahan, yang dia sendiri merasa telah banyak melakukan itu.

"Aws!" Ringisnya tertahan saat dirinya gagal untuk duduk karena merasakan sesuatu yang mengganjal.

Dia meraba-raba tubuhnya sendiri dan menyibak selimut yang sedari tadi menutupi.

Deg

Betapa terkejutnya, begitu melihat kondisinya yang berantakan. Badannya hanya terbungkus sebuah kemeja yang terlalu besar untuk dirinya.

Dia hanya memakai kemeja tersebut, tanpa mengenakan apapun selain itu. Kepalanya menoleh ke arah sofa di sana, yang terdapat seluruh baju dalam dan luarnya.

"Ssh," Pusing. Itu yang dirasakan, bersamaan datangnya serentetan kejadian menakutkan malam tadi.

Dan satu hal.

Dia juga teringat kejadian yang membuatnya berakhir dengan kondisi seperti ini.

"Udah bangun?"

Suara tersebut mengalun, menyadarkan segala pikirannya yang melanglang buana.

Dia, Fay. Fay mengeratkan genggaman pada selimutnya dan memberingsut mundur. Apalagi ketika melihat Aghavan yang berdiri tak jauh darinya.

Fay menggeleng-gelengkan kepalanya saat Aghavan mulai mendekatkan diri.

"Maaf."

Satu kata yang mencelos keluar dari bibir seorang Aghavan, untuk pertama kalinya. Selain kepada sang Bunda tercinta.

Aghavan menarik tubuh Fay ke dalam dekapannya secara perlahan. Di dalamnya, ada Fay yang terus menggelengkan kepalanya berulang kali.

Fay takut pada kejadian saat dirinya dipaksa dan dikasari sebenarnya. Dia tahu bahwa sekarang sesuatu dalam dirinya sudah berganti status. Akan tetapi, sekarang ini yang langsung menjadi pusat pikirannya bukanlah demikian.

Namun, tak dipungkiri, siapa seseorang yang dengan mudah menerima segala sesuatu yang belum atau tidak semestinya terjadi dalam waktu dekat?

TBC.

hai

27 Januari 2024

AGHAVAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang