CHAPTER 3

1.8K 267 13
                                    

Pandu's POV

Tangisnya semakin pecah ketika aku secara spontan mendekap tubuhnya. Entahlah. Kurasa perbuatanku dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak sopan. Namun hal tersebut terjadi secara sendirinya. Kudekap tubuh mungilnya yang bergetar, ku usap lembut punggungnya berharap hal yang aku lakukan bisa membuatnya tenang. Tak banyak orang yang berada di kedai kopi ku pada sore itu. hanya beberapa dan mereka terlihat seperti tidak peduli dengan apa yang sedang kami alami. Namun bagaimanapun, tetap tidak enak ketika orang melihat bahwa perempuan yang bersama denganmu sedang menangis. Bisa-bisa mereka menuduh kau lah penyebab tangisan itu ada.

Setelah beberapa menit berada di dalam dekapanku, kurasakan tubuhnya tak lagi bergetar. Meskipun isak tangisnya sedikit masih bisa kudengar. Kubawa perlahan tubuh mungil itu untuk duduk di salah satu kursi di sudut kedai kopi ku. Kuberikan secangkir hot matcha latte yang sebelumnya aku minta kepada salah satu barista ketika perempuan ini masih menangis.

"Duduk dulu mbak." Kataku mempersilahkannya. Dia masih diam saja.

Kuberikan tisu untuk menyeka sisa airmata yang masih membasahi pipi nya. Tangisnya sudah reda.

"Terima kasih." Katanya, tanpa sedikitpun menatapku. Pandangannya masih tertunduk layu.

"Anytime, mbak. Ini diminum dulu matcha nya. Nanti keburu dingin." Kataku.

Akhirnya dia mendongak, menatapku. Untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya dengan jelas. Tanpa kacamata, dan tanpa tangan yang menutupinya. "Cantik" batinku. Aku jamin semua orang akan setuju bahwa dia memang cantik. Bahkan matanya yang sangat sembab tak mengurangi sedikitpun kecantikan yang ada pada dirinya.

Dia memandangku, sejenak. Kemudian pandangannya beralih ke arah dada bidangku. Aku mengikuti arah matanya. Ternyata dia menyadari sesuatu. Kemeja putih yang aku kenakan basah. Entah terkena air matanya, atau ingusnya, atau mungkin keduanya. Aku sendiri pun bahkan tidak menyadari bahwa ternyata bajuku sudah basah.

"Maaf ya mas, kamu jadi sial ketemu saya." Dia menyalahkan dirinya.

Belum sempat aku membalas ucapannya, aku dibuat terdiam oleh apa yang dilakukan nya kemudian. Ia mengambil beberapa lembar tisu, kemudian mengusap pelan kemejaku yang basah. Lembut sekali.

"Nanti saya ganti ya mas, kemeja nya." Katanya lagi dengan suara serak akibat tangisnya tadi.

Kalian tahu bagaimana perasaanku saat itu? Yap, benar sekali. Entah mengapa kurasa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Bahkan aku sendiri bisa mendengarnya. Harapanku, semoga perempuan ini tidak menyadari hal itu. Aku, seperti kehilangan kemampuan untuk berbicara. Entahlah aku sendiri juga merasa aneh pada tubuh ini. Ada apa? Tak biasanya aku begini. Aku hanya terdiam memandangi dia, yang bahkan belum aku ketahui siapa namanya. Meskipun sayu, wajahnya penuh keteduhan.

"Terima kasih ya mas, sekali lagi. Maaf saya sudah mengacaukan rencanamu sore ini apapun itu." ucapnya setelah meneguk matcha latte yang mungkin sudah tidak panas lagi.

"Sama-sama mbak. Lain kali hati-hati!"

Banyak sekali pertanyaan yang ada di kepalaku saat ini. Tentang apa yang membuatnya menangis sampai sedemikian rupa, tentang siapa namanya, dan mengapa dia seperti tidak asing bagiku. Ingin aku tanyakan semuanya. Namun, alih-alih bertanya, aku malah hanya menanggapi ucapan terimakasih nya.

"Nasha, Nasha Cempaka" Ucapnya sambil mengulurkan tangannya kepadaku pertanda ia mengenalkan dirinya. Lagi-lagi, aku tertegun dengan apa yang dilakukannya. Dengan ragu aku menerima uluran tangan tersebut.

"Pandu Dinata. Panggil Pandu saja. Saya masih muda." Jawabku.

"Sekali lagi terima kasih ya Mas Pandu, maaf telah merepotkan. Oiya, saya boleh minta kartu nama masnya? Biar nanti saya ganti kemejanya."

Lagi-lagi aku tertegun. Aku tak masalah dengan kemejaku yang harganya tidak seberapa ini. Aku juga tidak mau dia mengganti kemejaku. Namun anehnya, tanganku tetap tergerak mengambil kartu nama yang ada di dompetku dan menyerahkannya pada perempuan ini.

"Gak usah diganti mbak". Kataku setelah memberikan kartu namaku. Ingin rasanya aku mengutuk diri karena perbuatanku tidak sejalan dengan apa yang aku katakan. Aku menolak pengembalian kemeja itu, namun aku memberinya kartu nama. Aku terlihat seperti orang-orang yang malu-malu tapi mau. Aneh memang. Tapi aku juga tidak tahu mengapa.

Sesaat setelah menerima kartu namaku, dia beranjak dari tempat duduknya, dan meninggalkanku. Tak lupa, dia menampilkan senyum indahnya yang lagi-lagi membuatku seperti tersihir oleh hal itu. terdengar berlebihan memang. Namun begitulah adanya. Dia, datang, dan memberiku kesan. Satu hal yang aku sadari setelah dia beranjak, wajahnya terlihat begitu pucat. Sial! Kenapa aku jadi mengkhawatirkannya. Kutatap punggungnya yang sudah hampir masuk kedalam mobilnya. Sesaat kemudian, mobilnya melaju. Meninggalkan halaman kedai kopi milikku.

Entah mengapa tiba-tiba tubuhku berdiri dan melajukan mobilku mengikuti kemana arah perginya Nasha. Hahaha senang sekali kini aku tahu siapa namanya dan bisa memanggilnya dengan nama itu. Aku mengkhawatirkan keadaannya sampai-sampai aku lupa bahwa hari ini, aku harus menemui Pak Doni, sebagai publisher yang akan menerbitkan novel baruku. Ah aku bahkan belum sempat menceritakan siapa diriku. Mungkin nanti, sebentar lagi. Saat ini aku harus memastikan bahwa Nasha sampai ke tujuannya dengan keadaan baik-baik saja. 

AROMA KATA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang