CHAPTER 29

1.1K 225 23
                                    

Pandu's POV


Hal yang paling aku takutkan saat ini adalah tidak bisa membawamu pergi dari belenggu luka lalu yang terus menghantuimu. Aku tahu Na, ini semua tidak mudah bagimu. Aku tahu rasa bersalah itu akan terus bersamamu sampai kamu sendiri yang sudah benar-benar rela dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Aku tahu, tidak akan mudah jalanku untuk membawamu keluar dari sana. Aku juga tahu bahwa mencintaimu aku harus rela berbagi dengan rasa bersalahmu yang membuatmu tenggelam disana.

Namun percayalah, Na. Sepanjang apapun jalannya, aku akan berusaha membawamu melaluinya. Sesulit apapun itu, aku akan tetap menggenggam tanganmu dan kita akan berjalan bersama. Tak akan aku biarkan dirimu sendirian memeluk luka. Yakinlah Na, saat ini, yang terpenting bagiku adalah bisa menunjukkan kepadamu bagaimana indahnya dunia tanpa bayang-bayang luka lama.

Mungkin aku akan mendapatimu yang tiba-tiba ingin pergi meninggalkan aku. Aku juga akan menemui sisi dari dirimu yang menolak untuk bersamaku. Namun sudah aku pastikan, tanganmu akan selalu ku genggam. Sekali lagi, aku tak akan membiarkanmu melalui semuanya sendirian.

Tak apa jika untuk menuju bahagia, aku harus sesekali menghadapi kebingungan akan sikapmu. Seperti pagi ini ketika kita bertemu dengan orang tuaku. Aku tahu, rasa bersalah itu sedang menghantuimu sehingga kamu memutuskan untuk mengakhiri kebahagian yang aku yakin saat itu tengah kamu rasakan. Tak apa Na, aku maklumi itu. Sebab itu lah aku juga mengiyakan alasanmu untuk pulang. Aku tahu kamu sedang berbohong, Na. aku tahu kamu sedang membohongiku, Mama dan Papa. Sebab sebelum mengajakmu pergi hari ini, aku sudah memastikan kepada manajer bahwa jadwalmu kosong hari ini.

Tidak masalah bagiku, Na. Sebab aku tahu bahwa saat ini yang kamu butuhkan adalah menenangkan diri dari riuhnya isi kepalamu. Aku tahu kepalamu sedang penuh. Dan hal itu pula yang membuatku membiarkan dirimu tak mengeluarkan sedikit kata pun di mobil, ketika mengantarmu pulang. Seberapa banyak pun itu, aku akan selalu memberimu waktu. Tidak apa jika kamu hanya mendiamkanku. Setidaknya mataku masih dapat menjangkaumu. Dan memastikan bahwa kau baik-baik saja. Meskipun aku jelas sudah tahu, bahwa pikiranmu sedang tidak baik-baik saja.

Sudah ku antar kan kamu di rumah yang aku tahu bangunan itu tidak pernah benar-benar menjadi rumah untukmu. Yang dapat aku lakukan saat ini hanya lah memberimu waktu. Untuk mendamaikan dirimu. Untuk menenangkan riuh pikirmu. Kuberikan kecupan hangat pada ujung kepalamu sebelum aku meninggalkanmu disana. Berharap apa yang aku lakukan dapat memberimu sedikit ketenangan. Meskipun yang sebenarnya ingin aku lakukan adalah membawamu bersamaku, mendekapmu, dan mempersilahkan mu untuk membagi segala riuh itu kepadaku.

Tepat ketika aku membalikkan badanku dan beranjak untuk meninggalkanmu, kakiku terhenti. Seorang laki-laki menatapku tajam. Tangannya mengepal penuh dendam. Nafasnya naik turun tak beraturan. Ia seperti sudah siap untuk menerkamku. Dan aku hanya bisa berbalik menatapnya.

"Kakak," Nasha bersuara. Terdengar sekali bahwa dia sedang ketakutan sekarang. Dan kini aku tahu bahwa laki-laki yang tengah menatapku penuh amarah ini adalah Kak Reno. Kakak dari kekasihku.

"Siapa kamu?" Tanya laki-laki itu kepadaku. Nada bicaranya terdengar sedikit menakutkan. Namun aku sama sekali tidak takut akan hal itu.

"Saya Pandu, saya..."

"Temen adek." Nasha memotong pembicaraanku. Aku tahu dia ketakutan sekarang. Aku juga tahu, nasha tidak hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri, namun dia juga mengkhawatirkan aku. Tentu saja, laki-laki itu menatap kami penuh curiga dan rasa tidak percaya. Tapi menurut aku, Kak Reno harus mengetahui semuanya. Kak Reno harus tahu bahwa adik perempuannya kini adalah kekasihku. Kak Reno harus tahu bahwa ada aku yang akan siap mempertaruhkan segalanya untuk melindungi Nasha. Kak Reno harus tahu itu. Aku, tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Nasha termasuk dirinya.

"Saya Pandu, kekasih Nasha." Kataku tanpa ragu sambil mengulurkan tanganku untuk mengajaknya berkenalan.

"Pandu!!!" Nasha berteriak padaku. Aku tahu dia ingin marah kepadaku karena aku tidak mengikuti alur permainannya. Maaf Nasha, kali ini aku harus mengatakan sejujurnya.

Bughhhhhhh

Satu pukulan keras mendarat di pipi kananku. Sepertinya sudut bibirku juga mengeluarkan sedikit darah sekarang. Aku tahu, apa yang sudah aku katakan pasti membuat nya marah.

"Berani-beraninya kamu mendekati Nasha. Siapa kamu ha???" Katanya membentakku sambil menarik kerah bajuku. Ku biarkan dia meluapkan segala amarahnya padaku. Aku tidak apa, asal dia tidak melukai Nasha.

"Saya laki-laki yang akan terus melindungi Nasha dan membuatnya bahagia." Kataku yakin tanpa ragu. Aku tidak takut sama sekali. Dan tentu saja keberanianku membuatnya kembali memukulku berkali-kali.

"Stoppp Kak Renoo Stopppp!!!" Nasha berteriak. Dia sudah menangis sekarang. Aku tahu dia sedang ketakutan. Namun aku juga tahu bahwa menuju bahagia, harus ada sesuatu yang dikorbankan. Dan saat ini aku sedang mengorbankan diriku sendiri.

"Tidak apa Kak, silahkan pukul saya sepuasnya. Asalkan setelah ini Kakak izinkan saya untuk memperjuangkan kebahagian Nasha." Kataku lagi.

"Pandu stopppp, tolong jangan begini. Stopp Panduu" Nasha memohon kepadaku untuk menghentikan semuanya. Suaranya terdengar begitu menyakitkan di telingaku. Tapi maaf Nasha, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu.

"Sialannnn!!!!"

BUGHHHHHH BUGHHHH

Kak Reno kembali memukulku. Kali ini pukulannya lebih kencang dari biasanya. Aku rasa kini seluruh wajahku sudah penuh dengan lebam.

"Kak Renooo tolonggg berhenti Kak!!!! Aku mohon!!!" Lagi-lagi Nasha meminta agar Kak Reno menghentikan pukulan demi pukulannya kepadaku.

"Apakah kak Reno juga akan membunuh saya sama seperti ketika Kak Reno membunuh Andra dan membuat Nasha hidup dalam rasa bersalah?" Kataku melawan. Entah keberanian dari mana yang aku dapatkan untuk mengatakannya. Nasha terlihat begitu terkejut mendengar ucapanku.

"Bajingan!!! Bangsattt!! Gue bukan pembunuh!!!!" Kata Kak Reno memukulku sekali kemudian dia tertunduk. Kak Reno merengkuh tubuhnya. Entah mengapa, justru kini dia malah menangis. Kak Reno menangis sambil menjambaki rambutnya sendiri.

"Gue bukan pembunuh, gua gak bunuh andraaa."

"Kakak bukan pembunuh, adek."

"Kakak bukan Pembunuh."

"Kakak gak pernah bunuh Andra."

"Adek, maafin Kakak."

Kak Reno mengucapkan semuanya sambil terus menangis. Sepertinya perkataanku melukainya. Sepertinya perkataanku mengembalikan lagi rasa bersalahnya.

Aku yang sudah kehabisan tenaga untuk menahan rasa sakit akibat pukulan-pukulan itu, ikut tertunduk di hadapan Kak Reno. Dan Nasha, dia menangis histeris sambil memeluk kakaknya. Melihat Kak Reno yang menangis sampai sedemikian rupa, membuatku jadi berpikir kembali. Apakah memang benar bukan Kak Reno yang membunuh Andra?




.........

Pandu mending sama aku aja siniiii wkwkwkwk

AROMA KATA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang