CHAPTER 43

1.8K 245 41
                                    

Pandu's POV


Puluhan orang lengkap dengan kamera, microphone kecil, handphone, dan id card yang menggantung di leher, menatap kearah ku dan Nasha tepat ketika pintu lift apartemen yang kami naiki terbuka sempurna. Semua orang yang ada disana berebut untuk mendekat kepada kami. Riuh berbagai macam pertanyaan menggema menimbulkan bising di telinga. Aku yang menyadari hal tersebut berusaha melepas genggaman tanganku yang sedari tadi bertaut dengan tangan milik Nasha. Aku tahu, genggaman tangan itu akan membuat mereka semua semakin berasumsi ketika melihatnya. Sayangnya, Nasha justru semakin mengeratkan genggaman tangannya. Aku tahu, dia sedang mencari kekuatan disana. Namun yang aku pikirkan sekarang hanyalah dia. Bagaimana jika yang terlihat oleh mereka justru malah menimbulkan masalah bagi Nasha?

Suara bising dari para wartawan itu semakin jelas ketika pada akhirnya, mau tidak mau, aku dan Nasha melangkahkan kaki semakin dekat menuju mereka. Aku tidak tahu pasti apa alasan yang membawa mereka berkumpul disini. Namun perasaanku mengatakan, bahwa itu semua ada sangkut pautnya dengan hubunganku dan Nasha. Terlihat sekali dari bagaimana cara mereka memberikan tatapannya kepada kami berdua.

"Mbak Nasha, jadi benar anda memiliki hubungan spesial dengan laki-laki ini?"

"Bisa dijelaskan mbak, siapa laki-laki ini?"

"Apa benar Mbak Nasha semalam menginap disini?"

"Tolong bisa dijawab mba!"

"Jadi kabar yang beredar selama ini benar mbak?"

"Apakah Mbak Nasha sudah menikah secara diam-diam?"

"Tolong bisa dijelaskan kepada kami mbak!"

"Mas, apa benar anda memiliki hubungan spesial dengan mbak Nasha?"

"Sudah berapa lama Mas?"

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus bersahutan dari para wartawan yang mendesak kami untuk menjawabnya. Sebenarnya aku masih bisa melindungi Nasha, dan berjalan menjauh dari kerumunan itu. Aku masih punya tenaga jika hanya untuk menyingkirkan para wartawan itu agar memberikan kami jalan. Namun ternyata, dengan beraninya Nasha berhenti di tengah kerumunan itu, membuka kacamatanya, dan tetap menggenggam tanganku.

"Bisa tolong tenang dulu semuanya?" Dengan lantangnya Nasha mampu meredakan segala keriuhan yang ada di sana. Wanitaku ini memang sangat istimewa.

"Saya tidak punya banyak waktu, jadi silahkan bertanya yang penting saja dan satu persatu." Dia melanjutkan perkataannya. Berhasil. Para wartawan itu bertanya dengan tertib. Tidak ada keributan seperti tadi.

"Jadi bisa tolong dijelaskan kepada kami laki-laki yang bersama Mbak Nasha ini siapa? Apa benar anda memiliki hubungan khusus dengannya?" tanya salah satu wartawan.

Aku menarik tangan Nasha pelan. Mencoba memberitahukan bahwa aku tidak apa jika dia mau menutupi semuanya. Namun pada detik selanjutnya, aku dibuat terkejut dengan jawaban yang keluar dari mulut saya.

"Ini suami saya," Jawab Nasha lantang.

"Na??" Sungguh aku tidak percaya bahwa Nasha akan mengatakan hal itu. Aku yakin setelah ini namanya akan menjadi topic utama di seluruh pemberitaan.

"Benar, ini suami saya. Kami sudah menikah satu bulan lalu dan akan mengadakan pesta pernikahan pada bulan depan." Nasha melanjutkan penjelasannya.

Aku kehabisan kata-kata. Aku tidak tahu apa alasan Nasha untuk mengatakan semuanya. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa kita akan mengadakan pesta pernikahan satu bulan lagi sedangkan tadi malam saja dia masih menolak ajakanku untuk menikah. Aku masih bergelut dengan segala pertanyaan yang ada di pikiranku sampai pada akhirnya sebuah pertanyaan yang tak seharusnya dilontarkan, terdengar di telingaku.

"Apakah Mba Nasha hamil diluar nikah sehingga melangsungkan pernikahan secara diam-diam?" Tanya salah satu wartawan.

Tentu saja amarahku memuncak. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu dengan entengnya. Menuduhkan sesuatu yang dia sama sekali tidak tahu kebenarannya. Pertanyaan yang dia ucapkan sudah pasti akan menimbulkan berbagai macam asumsi. Wajah Nasha kulihat juga sudah mulai memerah menandakan dia sedang memendam amarah.

"Jaga ucapan anda kalau anda masih ingin hidup tenang." Tak ada lagi kelembutan dari setiap kata yang aku ucapkan. Nasha menahanku. Jemarinya yang bertaut denganku, mengusap lembut punggung tanganku. Dia memintaku untuk tidak terpancing.

"Tidak, saya tidak hamil diluar nikah. Jika saya hamil diluar nikah, saya tidak akan menunda pesta pernikahan sampai bulan depan. Karena jika sudah hamil, bulan depan perut saya akan mulai terlihat buncit." Nasha menjelaskan.

Bagaimana bisa dia meladeni orang-orang tidak punya aturan itu dengan senyuman? Bagaimana bisa dia tetap tersenyum sedangkan aku tahu pasti dia sedang ingin karah sekarang. Betapa aku semakin yakin bahwa pilihanku untuk melabuhkan hati padanya adalah keputusan yang tidak akan pernah salah.

"Lalu mengapa anda melaksanakan pernikahan secara diam-diam?" Tanya wartawan lainnya.

"Tidak ada alasan khusus. Saya hanya ingin pernikahan saya terasa lebih khidmat. Permisi saya buru-buru. Terima kasih." Jawab Nasha dan kemudian sedikit menarik tanganku untuk berjalan melewati para wartawan menuju mobil yang terparkir di tempatnya.

Kami berdua berhasil lolos dari keramaian para wartawan. Mobil langsung kulajukan agar cepat meninggalkan tempat itu. Nasha yang duduk disampingku masih tetap diam. Sama sepertiku, mungkin dia sedang mempertanyakan apa yang sudah dia lakukan tadi. Apakah itu memang sebuah solusi? Atau ternyata justru akan membawa petaka bagi dia, bagi aku, dan bagi kita. Aku melihatnya sekilas. Seperti biasa, ku usap lembut tangannya berusaha untuk menyalurkan ketenangan. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum menatapku.

"Maaf ya, aku harus membohongi banyak orang tentang kita." Dia mulai membuka obrolan.

"Aku gak masalah dengan itu, Na. Yang sedang aku khawatirkan sekarang adalah kamu. Ketika kamu mengatakan kita sudah menikah, mereka pasti akan selalu menanyakan tentang aku kepadamu. Apalagi jika mereka tahu bahwa kamu tidak tinggal denganku. Mereka pasti akan berasumsi macam-macam." Kataku dengan pelan.

"Aku harus bagaimana, Sayang? Nasha bertanya padaku. Kepalanya sudah menunduk. Aku tahu, dia sedang berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.

Melihat Nasha yang mulai menangis, aku berhentikan mobilku di tepi jalan. Aku hadapkan tubuhnya untuk menghadap kepadaku. Ku tanggup wajahnya dengan kedua tanganku, sambil ku hapus air mata yang masih mengalir di pipinya.

"Na, sayang. Lihat aku." Kataku ketika Nasha mulai sedikit tenang.

"Apapun keputusan yang kamu ambil, aku akan ikuti. Kamu harus ingat, bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sendirian." Aku melanjutkan perkataanku sambil menatap matanya dalam. Aku sedang mencoba menyampaikan kepadanya bahwa apa yang aku ucapkan adalah tulus.

Nasha kembali menunduk menatap kuku-kuku di tangannya. Dia terlihat seperti memikirkan sesuatu sampai akhirnya dia mengangkat kepalanya dan menatapku. Dia menatapku serius. Sepertinya dia sudah tahu apa yang akan dia lakukan.

"Pandu, sayang," dia memanggil namaku.

"Iya Sayang, ada apa?" Kataku lembut sambil tersenyum ke arahnya.

"Bagaimanapun keadaannya kamu tidak akan meninggalkanku kan?" Tanyanya.

"Iya sayang, aku akan terus menemanimu." Kataku membalas tatapan dalamnya.

"Janji?" dia mencari keyakinan untuk dirinya sendiri.

"Janji, sayang."

Tangannya masih ku genggam sambil sesekali ku usap lembut perlahan. Tangan mungilnya begitu pas di dalam tanganku yang jauh lebih besar. Aku suka sekali ketika tangan mungil itu berada di dalam genggamanku.

"Menikahlah denganku."




............

Sudah siap kondangan?

AROMA KATA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang