CHAPTER 47

1.4K 228 22
                                    

Pandu's POV


Hari-hari berjalan begitu baik menuju hari bahagiaku. Hari dimana nantinya, aku dan dia, akan bersaksi atas agama dan negara untuk sebuah ikatan cinta. Sudah sampai pata tujuh hari sebelum akad nikah akan dilaksanakan di villa pribadi milik Papa. Semua persiapan sudah hampir selesai. Untungnya, Nasha dan aku memiliki selera yang tak jauh berbeda, sehingga tidak sulit untuk menyatukan isi pikiran kita mengenai konsep akad nikah kami nanti. Dibantu dengan seseorang dari Wedding Organizer yang disarankan Kak Reno, aku dan Nasha semaksimal mungkin mengurus semuanya berdua. Kami tidak ingin merepotkan yang lain. Meskipun aku yakin Mama, Papa, Kak Reno dan Syena akan dengan senang hati untuk membantu kami. Namun pada hari itu Nasah pernah berkata, meskipun serba tiba-tiba, ia tetap ingin merasakan bagaimana rasanya menyusun dan menyiapkan konsep pernikahan sesuai dengan apa yang dia mau.

Aku tahu hal tersebut cukup menguras waktu dan tenaganya. Belum lagi jadwal kerjanya yang baru bisa kosong h-2 sebelum akad nikah nanti. Syena sebagai manajer Nasha sudah menyarankan untuk Nasha mengambil libur 2 minggu sebelum pesta pernikahan. Namun Nasha menolaknya. Ia suka bekerja, sehingga ia pasti akan merasa bosan ketika tidak melakukan apa-apa. Dan yang bisa aku lakukan sebagai pasangannya adalah tetap mendukungnya, dan selalu memastikan bahwa apa yang dia lakukan tidak melebihi batas kemampuannya.

Aku dan Nasha kini tengah berada di sebuah butik yang dipilih Nasha untuk membuat gaun yang akan kita kenakan di pesta pernikahan nanti, di hotel bintang lima milik Kak Reno. Kami duduk bersebelahan di sebuah sofa yang sudah tersedia di dalam butik tersebut. Aku dan Nasha harus menunggu sekitar 15 menit untuk sang designer mempersiapkan gaun Nasha, dan setelan jas untukku. Kutatap Nasha yang berada disampingku. Wajahnya terlihat begitu murung. Entahlah. Mungkin dia sedang bosan atau lelah? Atau memang sedang ada sesuatu yang membuat perasaannya terganggu? Dia hanya duduk sambil asik memainkan ponselnya dan berjelajah di dunia sosial media miliknya.

"Sayang, are you oke? Is anything wrong?" tanyaku sambil mengusap lembut kepalanya.

"I'm oke kok sayang. Cuma capek aja." Jawabnya sambil berusaha menampilkan senyuman sekilas.

Aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja. Meskipun baru sekitar 6 bulan mengenal Nasha, aku tahu persis bagaimana ekspresi wajahnya ketika sedang menutupi sesuatu. Aku tahu ada hal yang mengganggu pikirannya. Aku juga tahu bahwa dia tidak mudah terbuka untuk menceritakan segalanya termasuk kepadaku. Meskipun sudah berkali-kali aku katakan kepadanya bahwa aku akan selalu siap untuk mendengar apapun tentangnya, tentang segala keluh kesahnya. Tapi tak apa. Aku tidak akan memaksanya. Setelah jawaban yang keluar dari mulut Nasha, tak ada lagi pembicaraan diantara kita kecuali dia yang kini tengah menyandarkan kepalanya pada bahuku tanpa melepas telepon genggam yang sedang dia mainkan. Aku membiarkannya diam tanpa bicara. Barangkali dia memang benar-benar sedang lelah dan butuh waktu untuk mengisi ulang energinya. Yang bisa aku lakukan hanyalah menggenggam salah satu tangannya dan menyalurkan energiku kepadanya. Berharap itu akan membuahkan hasil.

"Permisi Kak Nasha, gaunnya sudah siap. Silahkan boleh dicoba dulu. Dan untuk Kak Pandu juga bisa mencoba setelan jasnya. Silahkan." Seorang pegawai perempuan memecah kesunyian diantara kita berdua.

Aku dan Nasha bergegas bangkit dari duduk kita dan menuju ke ruang ganti masing-masing yang sudah disiapkan. Sekitar lima menit aku mencoba jas yang sudah jadi itu. Ketika keluar dari ruang ganti, mataku tidak menangkap Nasha ada disana. Pertanda bahwa dia belum selesai mengenakan gaunnya. Ketika aku tengah asik membenarkan jas yang aku kenakan, derap langkah terdengar di belakangku. Aku berbalik. Menatap satu perempuan yang terlihat begitu cantik dengan gaun yang tak begitu panjang berwarna putih tulang. Cantik sekali. Sangat cantik.

Aku tidak tahu harus dengan cara apa untuk memuji kesempurnaan yang ada pada perempuan yang sebentar lagi akan menyandang namaku dibelakangnya. Yang aku lakukan saat ini adalah menatapnya lekat dengan sorot mata yang sarat akan kekaguman. Senyum tergambar di wajah kami ketika tatapan kami saling bertemu. Tak ada hal lain yang dapat kurasakan selain haru dan bahagia. Pada akhirnya, aku dan dia akan tiba pada titik dimana kita akan mengikat janji untuk terus bersama.

"Bagaimana Kak? Apakah sudah sesuai?" Suara designer itu menghentikan adegan saling tatap diantara aku dan Nasha. Kami berdua serempak mengangguk dan memberikan senyuman kepada sang designer.

"Sudah sesuai mbak, saya suka gaunnya." Jawab Nasha sambil tersenyum sumringah pertanda dia sangat suka dengan gaunnya. Syukurlah, setidaknya mood nya sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Setelah menyampaikan beberapa hal tambahan kepada designer, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Jam menunjukkan pukul 12 siang yang artinya adalah sudah waktunya untuk makan siang.

"Sayang, kita makan dulu ya? Udah jam makan siang. Kamu mau makan apa sayang?" Tanyaku pada Nasha yang sudah berada di dalam mobil bersamaku.

"Aku punya permintaan boleh?" Nasha justru bertanya padaku dengan tatapan penuh harap.

"Boleh sayang, katakan saja." Kataku sembari tersenyum simpul kepadanya.

"Aku lagi mau makan masakan kamu. Hehehe." Katanya tanpa mengubah ekspresi penuh harap itu.

"Yasudah, kita pulang ya, nanti aku masak dirumah. Kamu mau dimasakin apa?" aku memastikan lagi apa keinginannya.

"Mau nasi goreng seafood aja. Boleh?" Jawab Nasha.

"Boleh sayang. Kebetulan Mama memang sering stok seafood dirumah. Jadi kita gak perlu belanja lagi." Aku meng-iyakan permintaannya.

"Terima kasih, Mas Pandu." Jawab Nasha yang membuat ku menghentikan mobilku secara mendadak. Untung saja jalanan sedang sepi.

"Aduh." Kata Nasha yang sedikit kaget.

"Maaf sayang, kamu gak papa?" Tanyaku sambil memastikan bahwa dia baik-baik saja.

"Kamu kenapa si sayang? Kok ngerem mendadak gitu?" Tanya Nasha sedikit kesal.

"Kamu si, coba ulangi tadi manggil apa?" Tanyaku sedikit menahan untuk tidak tersenyum.

"Apa? Aku gak ada bilang apa-apa kok." Kata Nasha yang sama-sama menahan diri agar tidak tersenyum juga.

"Coba ulang!" Pintaku.

"Ada apa si Mas Pandu?" Katanya dengan begitu lembut.

Kali ini pertahananku kalah. Aku tersenyum malu sambil memalingkan wajahku agar tidak menatap Nasha. Bagaimana bisa kalimat yang begitu sederhana membuatku menjadi salah tingkah seperti ini.

"Kenapa Mas Pandu? Kok gak mau lihat aku?" Nasha semakin menggodaku.

"Sayangg jangan gitu." Tidak ada kata lain yang bisa aku ucapkan lagi. Entah bagaimana caraku untuk menahan ke-salah tingkah-an ini.

"Gitu gimana Mas Pandu?" Sepertinya Nasha sangat puas karena berhasil menggodaku.

"Kamu lucu banget deh, di panggil Mas aja langsung salting gitu. Oke mulai hari ini aku mau panggil kamu Mas Pandu aja." Kata Nasha di sela-sela tawanya.

Aku tidak bisa mengelak. Aku senang dipanggil dengan sebutan Mas olehnya. Entahlah. Panggilan itu teras berbeda.

Setelah drama "Mas Pandu" itu selesai, aku kembali melajukan mobilku. Membawa Nasha kerumah Mama, karena seperti yang sudah Mama katakana sebelumnya, sampai akad nikah nanti, kami harus tinggal di rumah Mama.

"Sayang, aku juga ada permintaan buat kamu. Boleh?" Aku bertanya pada Nasha.

"Boleh Mas Pandu." Lagi-lagi aku dibuat salah tingkah dengan panggilan itu. Untung saja kali ini aku masih bisa menahannya.

"Can we have a date tonight? I have something special for you. Anggap saja final date sebelum kamu jadi istri aku." Aku menyampaikan niatku.

"Sure, Mas Pandu. Nanti kita keluar jam 7 malam ya. Aku mau istirahat dulu nanti." Nasha meng-iyakan permintaan ku.

Aku lega mendengarnya. Bersiaplah Nasha. Akan aku tunjukkan kepadamu betapa indahnya duniaku ketika dirimu hadir di hidupku.








...............

My mind rn: "mas pandu mas pandu mas pandu"

AROMA KATA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang