Bab 2 | Ternyata Berondong

6K 213 4
                                    

"Maaf sebelumnya, apa saya bisa bicara dengan dia di luar?" tanyaku yang membuat semua orang langsung menatapku.

"Kenapa di luar? Bicara di sini 'kan bisa, Mi," ucap Mama yang sepertinya takut kalau aku akan mengatakan hal yang aneh pada laki-laki itu.

Aku tidak peduli apapun saat ini, yang aku pedulikan adalah bagaimana caranya supaya semua rencana malam ini bisa gagal. Menikah? Gila saja! Aku masih ingin hidup bebas, aku masih ingin pergi ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Lagipula aku dan laki-laki itu tidak saling kenal, aku bahkan baru tahu namanya sekarang. Bisa-bisanya aku akan menikah dengan dia, bahkan malam ini keluarga sudah akan menentukan tanggal pernikahan itu. Benar-benar gila, sepertinya semua orang di sini tidak ada yang waras.

"Dimas, kamu mau bicara sama Ami di luar?" tanya istrinya Pak Kades sambil menatap putra bungsunya itu.

Kulihat laki-laki itu menganggukkan kepalanya, baguslah kalau dia tidak menolak. Maka dari itu aku langsung berdiri dan pergi keluar dari rumahku, aku memilih pergi agak jauh dari rumah, tepatnya di dekat lahan kosong samping rumahku. Saat aku merasa dia sudah menyusulku, aku langsung menatapnya sambil bersedekap.

"Apa kita saling kenal?" tanyaku langsung.

Kulihat laki-laki itu tersenyum, aku berdecih dalam hati. Mudah sekali laki-laki di hadapanku ini tersenyum, ya aku tahu kalau dia memang tampan. Aku akui itu dan aku tidak munafik untuk mengakui kalau dia memang memiliki wajah yang tampan, tetapi sayang dia bukan seleraku, lagipula sudah ada laki-laki yang aku suka. Dia juga tampan dan kami satu kelas di tempat kuliah, aku sudah menyukainya sejak masih semester satu.

"Kita pernah bertemu beberapa kali," ucapnya yang membuatku mengernyit keheranan.

"Jangan bohong kamu! Aku nggak pernah sekalipun ketemu sama kamu. Lagipula kata Pak Kades kamu lebih sering di Bandung, mana mungkin kita bisa saling ketemu!" tukasku ngegas.

Hal yang tidak aku duga, tiba-tiba saja dia mengulurkan tangannya seakan mengajak salaman. Aku hanya menaikkan sebelah alisku, tak mengerti dengan perbuatannya itu.

"Maaf ya, bukan muhrim," ucapku sok-sokan, memang dasar saja aku tidak mau salaman dengan dia.

Dia hanya tertawa kecil kemudian menarik tangannya kembali, sumpah aku sangat kesal sekarang. Kalau saja aku tidak ingat dosa, aku sudah membunuhnya sekarang ini. Gara-gara dia aku kesal begini, gara-gara dia kehidupanku mulai terusik. Aku tidak mau menikah dengannya. Walaupun kata Mama dia orangnya baik dan memang terlihat begitu, tetapi aku tidak cinta. Ada hati yang harus aku jaga, ada perasaan yang harus aku simpan di saat yang tepat dan itu bukan laki-laki ini. Laki-laki asing yang tiba-tiba saja meminangku dengan seenaknya.

"Baiklah, mari kita berkenalan lagi. Kalau kamu tidak ingat aku, aku akan memperkenalkan diri. Aku Dimas Dirgantara, kamu bisa memanggilku Dimas." Lagi-lagi dia tersenyum, memperlihatkan lesung pipi sebelah kirinya yang terlihat sangat dalam dan itu tetap tidak akan membuatku tertarik.

"Kamu tidak perlu memperkenalkan diri, aku kenal kamu. Kamu Zamita Ismi Salsabila, biasa dipanggil Ami. Adik kelas Mbak Indah dan sekarang sedang studi S1 di Bandar Lampung," ucap laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Dimas itu.

Aku sedikit tercengang karena dia tahu tentang aku, bahkan nama panjangku dia tahu. Aku mengernyit, tetapi kenapa aku merasa senyum laki-laki itu agak tidak asing? Tetapi aku yakin aku dan dia tidak pernah bertemu sebelumnya.

"Sudah ya basa-basinya, meskipun kamu tahu aku, tapi aku nggak tahu kamu. Aku nggak tahu alasan kamu minta keluarga kamu buat melamar aku, yang jelas aku akan menolaknya. Aku nggak mau nikah sama kamu, aku nggak mau nikah sama orang asing. Maka dari itu batalkan segera keinginan kamu, kamu bilang sama keluarga kamu kalau kita nggak akan nikah. Aku masih kuliah, aku nggak mau nikah dulu. Masih banyak impian yang harus aku kejar," ucapku panjang lebar. Sangat-sangat berharap kalau laki-laki itu bisa mengerti penolakanku yang sangat jelas ini.

"Meskipun kita menikah, aku nggak akan pernah menghalangi kamu mengejar impianmu. Aku akan mendukung semua impianmu," balasnya yang membuatku mencibir. Dia tahu apa soal impianku? Apa dia tahu kalau impianku ingin lulus cepat kemudian menikah dengan crush yang selama ini aku inginkan?

"Aku nggak butuh dukunganmu, aku nggak mau nikah sama kamu. Aku udah punya calon suami!" tukasku.

Aku meringis saat memikirkan Mas Crush ku, dia saja sangat cuek, kebanyakan aku yang caper sama dia. Apa mungkin dia akan jadi calon suamiku nantinya? Tetapi itu tidak masalah, yang jelas aku harus menyingkirkan kunyuk ini dari hidupku.

"Calon suamimu itu adalah aku, kita sebentar lagi akan segera menikah. Tanggal pernikahan bahkan sudah ditentukan, tepatnya dua minggu dari sekarang." Aku semakin jengkel mendengar perkataannya, ingin sekali aku mencabik wajahnya yang sok tampan itu.

"Kamu nggak bisa maksa aku! Pernikahan nggak akan terjadi saat salah satunya terpaksa!"

"Selama waktu dua minggu itu aku akan buat kamu suka rela menikah denganku, aku jamin itu."

Ya Allah, harus dengan cara apalagi aku menjelaskan pada laki-laki ini kalau aku tidak mau menikah dengannya? Aku benar-benar bisa gila menghadapinya. Ternyata dia sangat keras kepala, aku pikir bicara dengannya akan mudah dan membuat hubungan ini segera berakhir, nyatanya aku salah.

"Berapa umurmu?" Entah kenapa aku kepikiran menanyakan umurnya.

"Kenapa kamu ingin tahu?" tanyanya terkesan enggan memberitahu.

"Katakan saja berapa umurmu! Katanya kamu ingin jadi calon suamiku, maka aku harus tahu usiamu. Masa umur calon suami sendiri aku nggak tahu." Dalam hati mual menganggap dia calon suami, tetapi semua itu demi kebaikan supaya dia mau menjawab pertanyaanku.

"Sembilan belas."

"Hah!?"

"Umurku sembilan belas tahun."

"Apa!?" Aku berteriak kencang ketika tahu umurnya.

"Kan beneran kamu masih muda! Aku pikir kamu seusiaku, nyatanya lebih muda dariku. Kalau kita seumuran, mungkin akan aku pertimbangkan lamaran itu. Nyatanya kamu lebih muda, berarti pernikahan ini memang nggak harus terjadi! Aku nggak mau nikah sama laki-laki yang lebih muda dariku!" tukasku menggebu-gebu setelah tahu usia dia sebenarnya. Ternyata feelingku sangat kuat saat melihat wajahnya yang memang terlihat sangat muda, ini bukan lagi seusiaku melainkan berondong. Aku tidak mau menikah dengan berondong, meskipun jarak usia hanya dua tahun.

"Memangnya apa salahnya kalau aku lebih muda?" tanyanya yang membuatku naik pitam.

"Jelas salah! Gitu aja kamu masih nanya!? Masa iya perlu aku jelasin satu-satu biar kamu paham!?"

"Dewasa itu nggak diukur berdasarkan usia, buktinya sekarang aku lebih dewasa dari kamu. Padahal usiamu diatasku, tetapi tingkahmu seperti anak kecil. Berbicara terus pakai emosi, nggak sabaran dan juga selalu ngegas."

Aku tercengang mendengar perkataannya, yang seakan mengejekku, aku makin yakin tidak mau menikah dengannya. Selain dia berondong, dia juga julid, walaupun yang dikatakan dia adalah fakta, tetapi aku tidak terima.

Suddenly MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang