"Udah hampir maghrib ini, kamu nggak mau pulang?" tanya Dimas yang duduk di sampingku.
Ya, karena dia tidak mau pergi juga, akhirnya aku membiarkan saja dia duduk bersamaku di sini. Lagipula sebenarnya kehadirannya tidak terlalu mengganggu, tetapi kalau dia mulai berisik maka itu akan sangat mengganggu ketenanganku. Namun, beruntungnya dia tadi tak banyak bicara sehingga aku memiliki waktu tenangku.
"Duluan aja," ucapku tanpa menoleh padanya.
Mataku masih fokus menatap matahari yang perlahan-lahan mulai tenggelam, pemandangan yang sangat indah dan hanya bisa kunikmati ketika aku pulang ke rumah.
"Mana bisa gitu, aku ke sini 'kan niatnya mau jemput kamu. Masa iya aku pulang duluan?" Saat ia protes, akhirnya aku menatapnya. Agak kesal karena dia yang berisik, aku jadi tidak fokus menatap sunset.
"Aku nggak minta kamu buat jemput aku ya, lagian kita bawa motor masing-masing. Pulang aja duluan, aku nggak bakal ilang kok. Habis kamu pulang, aku juga akan langsung pulang," ucapku.
"Kamu aja yang pulang duluan, nanti aku di belakangmu."
Aku menipiskan bibirku, merasa kesal dengan sikap keras kepalanya itu. Baru hari ini menikah, tetapi dia sudah bisa memancing emosiku. Aku masih tidak habis pikir dengan perkataan Mama yang mengatakan kalau laki-laki ini cocok untukku, nyatanya belum apa-apa dia sudah berhasil memancing emosiku.
"Oke, aku pulang!" tukasku akhirnya.
Kalau aku tidak mengalah, bisa-bisa kami berdebat sampai malam. Tanpa menatapnya lagi, aku langsung menaiki motor dan tancap gas menuju rumah. Saat sampai di rumah, Mama langsung menghampiriku.
"Ami, kamu ke mana aja sih? Dimas tadi nyariin kamu loh. Mama sampai panik karena kamu pergi nggak bilang-bilang, Mama pikir kamu kabur," ucap Mama sambil menarik lenganku.
"Aku nggak akan kabur, Ma, kalaupun aku mau kabur seharusnya udah dari lama aku kabur. Lagian mana mungkin aku kabur cuma pakai baju tidur kaya gini," balasku sambil melihat penampilanku yang kelewat santai untuk orang yang berniat kabur dari rumah.
"Ya, tapi seenggaknya kamu bilang dong kalau mau pergi, Mi."
"Aku udah bilang ke Kak Adam kok, Ma," ucap Ami.
"Adam, kenapa kamu nggak bilang kalau Ami pergi cuma sebentar?" tanya Mama sambil menatap Kak Adam.
Kulihat Kak Adam menyengir sambil menggaruk belakang kepalanya, "Ya, Mama nggak nanya makanya aku nggak jawab."
"Adam, benar-benar deh kamu ini."
"Terus gimana? Kamu ketemu nggak sama Dimas? Tadi dia nyariin kamu, Mi," ucap Mama.
"Ketemu, Ma, orang dia nemenin aku waktu cari ketenangan kok."
"Panjang umur, kami baru aja ngomongin kamu, Dimas," ucap Mama ketika Dimas tiba dan langsung turun dari motornya.
"Ketemu 'kan sama Ami?"
"Iya, ketemu, Ma."
"Ya udah, ayo pada masuk. Sebentar lagi maghrib," ucap Mama yang membuat kami semua memasuki rumah.
"Ayah mana, Ma?"
"Ayahmu seperti biasa, shalat jamaah di masjid."
"Kok Kak Adam nggak ikut?" tanyaku sambil melirik Kak Adam.
"Suka-suka aku lah, Dek. Lagian shalat di rumah atau di masjid sama aja, yang penting shalat," decaknya sambil menatapku sinis kemudian berlalu memasuki kamarnya.
"Kamu sendiri nggak jamaah di masjid?" tanyaku yang kini melirik ke arah Dimas.
"Biarin aja Dimas di rumah, lagian kalian 'kan masih pengantin baru. Alangkah lebih baik kalau di rumah dulu," ucap Mama saat Dimas hendak menjawab pertanyaanku.
"Sana ajak Dimas masuk ke kamar kamu, Mi."
"Apa, Ma!?" tanyaku terkejut dengan perkataan Mama.
"Kamu masa nggak denger apa yang Mama bilang? Jarak kita cuma beberapa senti loh, Mi," ucap Mama agaknya kesal padaku tetapi beliau tahan karena mungkin ada Dimas di sini.
"Ajak suami kamu masuk kamarmu, Ami," ucap Mama lagi menahan gemas.
"Ngapain aku ngajak dia ke kamarku, Ma?"
"Hal ini kamu masih nanya kenapa, Mi? Kalian udah resmi jadi suami istri loh."
"Ya, emang. Tetapi masa iya aku mau satu kamar sama dia?"
"Ya jelaslah kalian satu kamar, kalian 'kan suami istri. Kalau beda kamar itu justru aneh, Ami. Udah sana ajak Dimas ke kamarmu."
"Tetapi, Ma—"
"Udah ah, Mama mau wudhu duluan. Dimas, kamu sama Ami masuk ke kamar duluan ya. Nanti kalau mau wudhu di belakang aja," ucap Mama pada Dimas.
"Iya, Ma." Dimas mengangguk sambil tersenyum.
Sepeninggal Mama, aku kini bingung harus melakukan apa. Seumur-umur aku tak pernah membawa laki-laki memasuki kamarku dan saat hal ini akan terjadi, itu terasa canggung bagiku.
"Masuk aja kalau mau masuk!" ucapku dengan nada agak keras untuk menyembunyikan kecanggungan ketika dia mulai memasuki kamarku.
"Kenapa natapnya gitu? Iya tahu kamarku memang sempit," ucapku saat dia memperhatikan kamarku, sangat teliti.
"Nggak kok, kamar seperti ini justru terasa lebih nyaman daripada kamar yang luas," balasnya.
"Aku suka laki-laki yang sering shalat jamaah di masjid, bukan maksud apa-apa. Aku cuma ngasih tahu kamu," ucapku sengaja mengatakan hal itu. Agar dia sadar kalau dia itu bukan tipeku.
"Iya, aku tahu kok. Tadinya aku niat mau berangkat shalat jamaah di masjid, cuma waktunya nggak sempat karena kita pulang telat."
"Nggak usah coba-coba merubah diri cuma karena ingin terlihat baik di depanku," peringatku tegas. Aku tak ingin dia melakukan pencitraan di depanku, karena apapun yang dia lakukan tak akan merubah pandanganku padanya.
"Memangnya salah kalau ada orang ingin berubah menjadi orang yang lebih baik? Aku memang bukan orang yang sangat paham agama seperti laki-laki yang kamu inginkan, tetapi setidaknya aku mengerti dan memahami ilmunya. Maka dari itu izinkan aku belajar menjadi suami serta imam yang baik untuk kamu." Dari sorot matanya yang tajam, dia serius mengatakan hal itu. Aku merinding seketika dan langsung memalingkan wajahku, tak mau membiarkan mata ini bertatapan lebih lama lagi dengan dia.
"Ami, Dimas! Kalian mau wudhu 'kan? Ayo buruan wudhu, waktu maghrib itu nggak panjang loh. Kalau mau mesra-mesraan nanti aja habis isya!" teriak Mama sambil mengetuk pintu.
Aku berdecak kesal mendengar omongan Mama yang cenderung asal itu, "Iya, Ma," jawabku sambil membuka pintu.
"Kirain Mama kalian lagi mesraan," ucap Mama sambil mengintip ke dalam kamarku.
"Mama ngomong apa sih? Katanya waktu maghrib nggak panjang, Mama nggak mau shalat sekarang?" tanyaku yang membuat Mama langsung ke kamarnya.
Aku dan Dimas menuju dapur untuk mengambil air wudhu, karena dia memang tidak terlalu tahu di mana tempat wudhu makanya aku yang mengantarnya. Aku menjaga jarak darinya saat kami berjalan menuju kamarku, karena takut tak sengaja bersentuhan dengannya dan membuat wudhu kami jadi batal.
"Mau jamaahan?" tanya Dimas sambil menatapku.
"Memangnya bisa?" Aku agak ragu padanya, karena kebanyakan laki-laki muda yang aku kenal... ya seperti itulah. Aku malas menjelaskan.
"Bisa," jawabnya mantap.
Saat dia memakai peci di kepalanya, aku tertegun karena aura wajah tampannya semakin terpancar. Sejenak aku terpesona padanya.
"Kenapa?" tanya Dimas sepertinya sadar kalau aku memperhatikannya.
"Nggak apa-apa."
Kemudian kami melakukan shalat berjamaah bersama, ini pertama kalinya bagiku menjadi makmum seorang laki-laki yang sudah resmi menjadi suamiku. Dan saat dia mulai melantunkan surah al-fatihah dan surah pendek lainnya yang mengiringi shalat kami, aku tertegun dalam hati. Suaranya indah dan bacaan shalatnya cukup fashih, mungkinkah ternyata aku salah sangka padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Suddenly Marriage
Romance"Mi, kemarin Pak Kades dan istrinya datang ke rumah. Dia ingin meminang kamu untuk menjadi istri anaknya," ucap Mama yang membuatku seketika langsung menghentikan kunyahan. "Mama kalau bercanda jangan pas lagi makan dong, nggak lucu kalau tiba-tiba...